Pengaruh tidak langsung
1.
Vektor penyakit
Pengaruh tidak langsung dari adanya Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA) biasanya terdapat vektor pembawa
bibit penyakit yang berada diantara tumpukan sampah. Beberapa
jenis vektor penyakit yang biasa hidup di sampah adalah nyamuk, lalat, pinjal
dan tungau. Nyamuk yang menjadi vektor penyakit penting di Indonesia adalah
dari genus Culex (penyebab penyakit
filariasis) oleh bakteri Wolbachia
pipientis, Anopheles (penyebab
penyakit malaria) oleh virus Plasmodium.
Lalat yang biasa menjadi vektor adalah Musca domestica dengan membawa berbagai
macam mikroorganisme seperti Salmonella
thypi, Shigella sp. dan telur cacing (Ascaris
lumbricoides, Enterobius vermilucaris, Trichiuris trichiura) yang mudah
melekat.
Lalat yang ditemukan diatas tumpukan sampah biasanya
lalat Musca domestica dan Chrysomyia megachepala. Musca domestica biasanya ditemukan di
dua habitat yaitu timbunan sampah dan kandang ternak. Sedangkan untuk lalat Chrysomyia megachepala menyukai bahan
sampah yang banyak mengandung protein sebagai sumber makanan dan tempat
bertelurnya. Dari dua spesies lalat tersebut terdapat 4 macam bakteri yang
mengkontminasi lalat tersebut, diantaranya Escherichia
coli, Shigella sp, Bacillus sp. dan Salmonella sp.
2.
Air Lindi
Pengaruh tidak langsung dapat dirasakan oleh manusia terutama akibat pembusukan, pembakaran dan pembuangan sampah yang menyebabkan tanah, air dan udara tercemar. Dekomposisi sampah organik secara aerobik menghasilkan lindi dan gas.
Lindi merupakan cairan yang mengandung zat padat terlarut sangat halus terdiri atas Ca2+,
Mg2+, Na+, K+, Fe2+, Cl-,
SO42-, PO43-terlarut, Zn, Ni, dan
gas H2S yang berbau busuk.
Semua unsur,
senyawa dan
gas tersebut secara tidak langsung terakumulasi dan tercampur dengan air hujan dan masuk ke lapisan tanah, sehingga dapat mencemari air permukaan maupun air tanah di
sekitarnya (Slamet, 1994).
Zat pencemar yang ada di dalam lindi dapat mempengaruhi kehidupan biotik yaitu menyebabkan
menurunnya kadar oksigen yang terlarut mengakibatkan kehidupan di dalam air
yang membutuhkan oksigen akan terganggu, selanjutnya dapat mengurangi
perkembangannya, bahkan dapat menyebabkan kematian. Kematian bakteri dapat
menyebabkan proses penjernihan sendiri (self purification) menjadi
terhambat. Akibat selanjutnya adalah air limbah akan sulit untuk diuraikan
(Sugiarto, 1987).
Di samping itu air lindi memiliki pengaruh positif
terhadap lingkungan. Kandungan air lindi tersebut berpotensi untuk dimanfaatkan
karena bahan penyusunnya sebagian besar berupa unsur hara yang dibutuhkan tanah
atau tanaman. Namun konsentrasi pada awal pembentukan air lindi masih tinggi
dan dapat bersifat racun. Umumnya pada TPA memiliki bak untuk mengendapkan
kandungan air lindi. Air lindi yang mengalami pengendapan diduga telah menurun
konsentrasinya sehingga aman untuk dialirkan kembali ke lahan. Selain itu,
menurut Arifin (2006) air lindi dapat digunakan sebagai starter (bahan tambahan) untuk mempercepat dekomposisi dalam proses
pengomposan bahan organik.
Iklim merupakan faktor penting yang mempengaruhi
kuantitas dan kualitas air lindi. Hujan menjadi fase transportasi untuk
infiltrasi dan migrasi kontaminan dari tumpukan sampah, serta memberikan
kelembaban untuk aktivitas biologi. Umur tumpukan sampah mempengaruhi kualitas
air lindi dan gas yang terbentuk. Perubahan kualitas air lindi dan gas menjadi
parameter utama untuk mengetahui tingkat stabilitasi tumpukan sampah. Menurut
Sulinda (2004) ada lima fase stabilisasi tumpukan sampah yang ditandai dengan
perubahan karakteristik air lindi, yaitu adaptasi awal, transisi, pembentukan
asam, fermentasi metana dan pembentukan akhir.