Percobaan yang pertama kali mengungkapkan adanya peristiwa
rangkai kelamin dilakukan oleh T.H Morgan pada tahun 1910. Dia menyilangkan
lalat D. melanogaster jantan bermata putih dengan betina bermata merah. Lalat
bermata merah lazim dianggap sebagai lalat normal atau tipe alami (wild type),
sedang gen pengatur tipe alami, misalnya pengatur warna mata merah ini, dapat
dilambangkan dengan tanda +. Biasanya, meskipun tidak selalu, gen tipe alami
bersifat dominan terhadap alel mutannya.
Hasil persilangan Morgan tersebut, khususnya pada generasi
F1, ternyata berbeda jika tetua jantan yang digunakan adalah tipe alami
(bermata merah) dan tetua betinanya bermata putih. Dengan perkataan lain,
perkawinan resiprok menghasilkan keturunan yang berbeda. Persilangan resiprok
dengan hasil yang berbeda ini memberikan petunjuk bahwa pewarisan warna mata
pada Drosophila ada hubungannya dengan jenis kelamin, dan ternyata kemudian
memang diketahui bahwa gen yang mengatur warna mata pada Drosophila terletak pada
kromosom kelamin, dalam hal ini kromosom X. Oleh karena itu, gen pengatur warna
mata ini dikatakan sebagai gen rangkai X.
Pada Drosophila, dan juga beberapa spesies organisme
lainnya, individu betina membawa dua buah kromosom X, yang dengan sendirinya homolog,
sehingga gamet-gamet yang dihasilkannya akan mempunyai susunan gen yang sama.
Oleh karena itu, individu betina ini dikatakan bersifat homogametik.
Sebaliknya, individu jantan yang hanya membawa sebuah kromosom X akan
menghasilkan dua macam gamet yang berbeda, yaitu gamet yang membawa kromosom X
dan gamet yang membawa kromosom Y. Individu jantan ini dikatakan bersifat
heterogametik.
Pewarisan
Rangkai Kelamin Tak Sempurna
Meskipun dari uraian di atas secara tersirat dapat
ditafsirkan bahwa kromosom X tidak homolog dengan kromosom Y, ternyata ada
bagian atau segmen tertentu pada kedua kromosom tersebut yang homolog satu sama
lain. Dengan perkataan lain, ada beberapa gen pada kromosom X yang mempunyai
alel pada kromosom Y. Pewarisan sifat yang diatur oleh gen semacam ini dapat
dikatakan tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, dan berlangsung seperti halnya
pewarisan gen autosomal. Oleh karena itu, gen-gen pada segmen kromosom X dan Y
yang homolog ini disebut juga gen rangkai kelamin tak sempurna.
Sistem Penentuan Jenis Kelamin
Sistem XO
Sistem XO dijumpai pada beberapa jenis serangga, misalnya
belalang. Di dalam sel somatisnya, individu betina memiliki dua buah kromosom X
sementara individu jantan hanya mempunyai sebuah kromosom X. Jadi, hal ini
mirip dengan sistem XY. Bedanya, pada sistem XO individu jantan tidak mempunyai
kromosom Y. Dengan demikian, jumlah kromosom sel somatis individu betina lebih
banyak daripada jumlah pada individu jantan. Sebagai contoh, E.B. Wilson
menemukan bahwa sel somatis serangga Protenor betina mempunyai 14 kromosom,
sedang pada individu jantannya hanya ada 13 kromosom.
Sistem nisbah X/A
C.B. Bridge melakukan serangkaian penelitian mengenai jenis
kelamin pada lalat Drosophila. Dia berhasil menyimpulkan bahwa sistem penentuan
jenis kelamin pada organisme tersebut berkaitan dengan nisbah banyaknya
kromosom X terhadap banyaknya autosom, dan tidak ada hubungannya dengan
kromosom Y. Dalam hal ini kromosom Y hanya berperan mengatur fertilitas jantan.
Secara ringkas penentuan jenis kelamin dengan sistem X/A pada lalat Drosophila
dapat dilihat pada Tabel
Tabel. Penentuan jenis kelamin pada lalat Drosophila
Σ kromosom X
|
Σ autosom
|
nibah X/A
|
jenis kelamin
|
1
|
2
|
0,5
|
jantan
|
2
|
2
|
1
|
betina
|
3
|
2
|
1,5
|
metabetina
|
4
|
3
|
1,33
|
metabetina
|
4
|
4
|
1
|
betina 4n
|
3
|
3
|
1
|
betina 3n
|
3
|
4
|
0,75
|
interseks
|
2
|
3
|
0,67
|
interseks
|
2
|
4
|
0,5
|
jantan
|
1
|
3
|
0,33
|
metajantan
|
Jika kita perhatikan kolom pertama pada Tabel 6.1 akan
terlihat bahwa ada beberapa individu yang jumlah kromosom X-nya lebih dari dua
buah, yakni individu dengan jenis kelamin metabetina, betina triploid dan
tetraploid, serta interseks. Adanya kromosom X yang didapatkan melebihi jumlah
kromosom X pada individu normal (diploid) ini disebabkan oleh terjadinya
peristiwa yang dinamakan gagal pisah (non disjunction), yaitu gagal berpisahnya
kedua kromosom X pada waktu pembelahan meiosis.
Pada Drosophila terjadinya gagal pisah dapat menyebabkan
terbentuknya beberapa individu abnormal seperti nampak pada Gambar 6.3.
P : E
AAXX x AAXY G
gagal pisah
gamet : AXX
AO AX AY
F1 :
AAXXX AAXXY AAXO AAOY
betina
super betina jantan steril letal
Gambar 6.3. Diagram munculnya beberapa individu abnormal
pada
Drosophila akibat peristiwa gagal pisah
Di samping kelainan-kelainan tersebut pernah pula dilaporkan
adanya lalat Drosophila yang sebagian tubuhnya memperlihatkan sifat-sifat
sebagai jenis kelamin jantan sementara sebagian lainnya betina. Lalat ini
dikatakan mengalami mozaik seksual atau biasa disebut dengan istilah ginandromorfi.
Penyebabnya adalah ketidakteraturan distribusi kromosom X pada masa-masa awal
pembelahan mitosis zigot. Dalam hal ini ada sel yang menerima dua kromosom X
tetapi ada pula yang hanya menerima satu kromosom X.
Partenogenesis
Pada beberapa spesies Hymenoptera seperti semut, lebah, dan
tawon, individu jantan berkembang dengan cara partenogenesis, yaitu melalui
telur yang tidak dibuahi. Oleh karena itu, individu jantan ini hanya memiliki
sebuah genom atau perangkat kromosomnya haploid.