Deteksi FLU BURUNG dengan METODE Reverse Transcription - PCR (RT-PCR) part 5-6

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Diagnosis penyakit AI meliputi diagnosis definitif yang didasarkan atas isolasi dan identifikasi virus serta diagnosis sangkaan yang didasarkan atas riwayat kasus, gejala klinik, perubahan patologik, dan tidak adanya penyakit pernafasan yang lain. Diagnosis dapat dilakukan dengan metode isolasi atau deteksi dan karakterisasi virus. Hal tersebut perlu dilakukan karena infeksi yang terjadi pada unggas dapat menimbulkan gejala klinis yang bervariasi. Variasi gejala klinis tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor inang, strain virus, status imun inang, kondisi lingkungan, serta adanya infeksi sekunder dari mikroorganisme lain. Pemeriksaan serologik yang sering dipakai adalah uji hemaglutinase-inhibition (HI) untuk mengetahui adanya antibodi terhadap hemaglutinin (HA) dan uji agar gel presipitasi (AGP) untuk mengetahui adanya antibodi terhadap NA (OIE, 2008). Uji serologik lain yang dipakai untuk mengetahui adanya pembentukan antibodi adalah virus neutralization (VN), neuraminidase-inhibition (NI), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), antibodi monoklonal, dan hibridisasi in situ (Tabbu, 2000). Diferensial diagnosis dari AI adalah Newcastle Disease (ND), Pigeon Paramyxovirus, Infectious Bronchitis (IB), Swollen Head Syndrome (SHS), Avian Mycoplasmosis, Infectious Laryngotracheitis (ILT), Duck Plaque, keracunan akut, Acute Fowl Cholera atau Pasteurellosis (OIE, 2008).
Metode RT-PCR sudah banyak digunakan untuk mendiagnosis virus Avian Influenza. Pengujian RT-PCR untuk mendiagnosis Avian Influenza dapat dilakukan di Balai Besar Penelitian Veteriner baik untuk keperluan penelitian maupun diagnostik. Metode RT-PCR ini juga banyak diterapkan di laboratorium-laboratorium veteriner lain yang terdapat di seluruh wilayah Indonesia untuk keperluan pengujian Avian Influenza. Biasanya metode ini akan dilanjutkan dengan sequencing DNA untuk melihat lebih jauh tentang karakter molekul virus ini, seperti mutasi virus, hubungan kekerabatan dan untuk rekayasa genetika lainnya (Dharmayanti et al., 2004). Saat ini terdapat beberapa teknik RT-PCR diantaranya RT-PCR Conventional dan Real Time RT-PCR. Hasil diagnosis RT-PCR Konvensional ditentukan berdasarkan amplikon yang terlihat pada gel elektroforesis. Untuk primer Matrik, pita akan berada pada posisi 200 – 300 pasang basa dan pada posisi 500 – 600 pasang basa pada primer H5 (Wellenberg, 2006).
Metode Reverse Transcription – Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Teknik Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) mula-mula untuk melakukan analisis terhadap molekul RNA, hasil transkripsi yang ada dalam jumlah yang sangat sedikit di dalam sel. Genom virus influenza terdiri dari rantai tunggal RNA oleh karena itu complementary DNA (cDNA) harus disintesis melalui proses RT-PCR. Teknik RT-PCR adalah proses polimerisasi yang digunakan untuk mensintesis cDNA (WHO, 2002). Sintesis cDNA dengan metode RT-PCR dilakukan dalam satu campuran reaksi yang mengandung primer dengan spesifitas tinggi dan nukleotida bebas (dNTP) pada temperatur maksimal 42-50°C selama minimal 60 menit (Javois, 1999). Metode ini menggunakan satu enzim khusus yang digunakan untuk membantu melakukan sintesis RNA menjadi DNA, yaitu Enzim Reverse Transcriptase. Kelebihan metode RT-PCR adalah memiliki sensitivitas yang tinggi dalam mengamplifikasi template RNA dan sangat spesifik saat menggunakan primer yang spesifik dalam sintesis cDNA. Meskipun demikian, teknik tersebut juga memiliki kelemahan yaitu hanya dapat digunakan untuk amplifikasi DNA, tidak untuk mempelajari fungsional protein (Kendall dan Riley, 2000).
Setelah terbentuk segmen cDNA ini, selanjutnya masuk kepada proses PCR biasa.
Tahap Siklus PCR :
1.        Denaturasi
Selama proses denaturasi, double stranded DNA akan membuka menjadi single stranded DNA. Hal ini disebabkan karena suhu denaturasi yang tinggi menyebabkan putusnya ikatan hidrogen diantara basa-basa yang komplemen. Pada tahap ini, seluruh reaksi enzim tidak berjalan, misalnya reaksi polimerisasi pada siklus yang sebelumnya. Proses denaturasi DNA dilakukan dengan cara menaikkan suhu sampai 95oC. Sebelum proses denaturasi ini, biasanya diawali dengan proses denaturasi inisial untuk memastikan rantai DNA telah terpisah sempurna menjadi rantai tunggal. Suhu denaturasi yang efektif adalah 92-95oC, sedangkan 94oC merupakan pilihan standar selama 1 menit. Kadang-kadang yang diperlukan suhu denaturasi yang lebih tinggi untuk cetakan DNA yang banyak mengandung basa guanine dan sitosin namun efesiensi enzim taq polymerase akan menurun pada suhu 95oC. tahap denaturasi ini merupakan tahap kritis dan sering menjadi fokus perhatian bila suatu reaksi PCR gagal.
2.        Annealing (Penempelan)
Penempelan primer adalah suatu tahap penempelan primer DNA pada ujung 3’ dari masing-masing rantai tunggal cetakan DNA. Primer berfungsi sebagai pancingan awal dalam pelipatgandaan segmen DNA. Primer terdiri dari 18 - 24 deret basa nukleotida pengode DNA adenin(A), guanin (G), sitosin (C), dan timin (T) yang disintesis secara artificial dan biasanya dapat dipasangkan dengan DNA yang akan dideteksi. Pada proses annealing, primer akan menuju daerah yang spesifik, dimana daerah tersebut memiliki komplemen dengan primernya. Pada proses annealing ini, ikatan hidrogen akan terbentuk. Selanjutnya, DNA polymerase akan berikatan sehingga ikatan hidrogen tersebut akan menjadi sangat kuat dan tidak akan putus kembali apabila dilakukan reaksi polimerisasi selanjutnya Suhu penempelan primer berkisar diantara 37-55oC, dan tergantung pada panjang primer, sekuens basa serta konsentrasi primer. Waktu inkubasi yang diperlukan sebaiknya diperkecil untuk mendapatkan spesifisitas yang tinggi biasanya 1-2 menit. Suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kegagalan penempelan primer pada komplementernya di cetakan DNA. Setelah DNA menjadi utas tunggal, suhu diturukan ke kisaran 40-60oC selama 20-40 detik untuk memberikan kesempatan bagi primer untuk menempel pada DNA template di tempat yang komplemen dengan sekuen primer.
3.        Ekstensi / Elongasi (Pemanjangan)
Tahap pemanjangan kompleks primer pada cetakan DNA ditandai dengan adanya aktivitas DNA polymerase. Pemanjangan primer dimulai dari ujung 3’ primer dan taq polymerase menambahkan nukleotida yang komplementer terhadap cetakan DNA, sehingga membentuk DNA untai ganda yang lengkap. Pada tahap ini DNA polymerase akan memasangkan dNTP yang sesuai pada pasangannya, jika basa pada template adalah A, maka akan dipasang dNTP, begitu seterusnya. Enzim akan memperpanjang rantai baru ini hingga ke ujung. Enzim polymerase akan bekerja optimum pada suhu 72oC. Lamanya waktu ekstensi bergantung pada panjang dan konsentrasi cetakan DNA. Lama tahap elongasi biasanya 30 detik, sedangkan waktu pemanjangan pada siklus akhir sering diperpanjang sampai 5 menit untuk menyakinkan semua prodik sudah diperpanjang dengan lengkap.

Elektroforesis
Elektroforesis adalah proses migrasi dari fragmen DNA di dalam gel yang terendam dalam larutan penyangga. Perjalanan molekul DNA di dalam gel mengikuti arus listrik dari kutub negatif menuju kutub positif. Penggunaan jenis gel disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai. Electrophoresis Gel Agarose (AGE) dengan visualisasi menggunakan ethidium bromide dan Electrophoresis Gel Polyacrilamid (PAGE) dengan visualisasi menggunakan silver staining (Sulandari dan Zein, 2003).
Penggunaan zat pewarna fluoresensi yang akan terinterkalasi dengan DNA rantai ganda (dsDNA) misalnya SyBr Safe DNA. Metoda ini merupakan metoda yang paling mudah dengan menggunakan zat pewarna yang nantinya akan berikatan dengan setiap DNA untai ganda (dsDNA) yang dihasilkan dari reaksi PCR. Zat pewarna yang umum digunakan adalah SYBR Green I. Zat pewarna ini pada kondisi bebas tidak berikatan dengan dsDNA memiliki energi/sinyal flouresensi yang rendah meskipun distimulasi oleh sinar yang ditembakkan oleh alat. Pada saat terbentuk dsDNA sebagai hasil PCR, SYBRR Green akan berikatan dengan dsDNA membentuk suatu kompleks DNA-dye dan secara simultan akan meningkatkan sinyal fluoresensi pada saat disinari cahaya oleh alat.
Metode Real Time-Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RRT-PCR)
Reaksi RT-PCR konvensional selama ini membutuhkan waktu kurang lebih 4 – 5 jam untuk ekstraksi RNA, proses 40 siklus PCR (denaturasi, annealling dan ekstensi DNA) serta elektroforesis pada gel. Oleh karena itu, saat ini telah dikembangkan suatu teknik terbaru RT-PCT yaitu Real Time RT-PCR (RRT-PCR). Dalam teknik ini, tahap elektroforesis dihilangkan dan hasil langsung dapat dibaca di layar monitor komputer sehingga waktu yang dibutuhkan lebih singkat, kurang lebih 2 jam. RRT-PCR mempunyai sensitivitas 10 – 100 kali lebih tinggi daripada RT-PCR (Trani et al., 2005).
Prinsip kerja dari RRT-PCR ini hampir sama dengan RT-PCR konvensional yaitu denaturasi, annealling dan ekstensi. Namun di dalam RRT-PCR perjalanan reaksi dilihat per satuan waktu (siklus) dalam RRT-PCR digunakan probe (penanda) yang menempel pada cetakan DNA, dimana dalam probe tersebut dilengkapi dengan reporter (pembawa sinyal) dan quencher (penahan sinyal). Jika primer memulai ekstensi DNA, selanjutnya ekstensi DNA yang diperantarai oleh enzim polymerase akan menghantam probe DNA menyebabkan lepasnya ikatan reporter dan quencher. Terlepasnya ikatan ini mengakibatkan terbacanya emisi sinyal reporter oleh perangkat filter dalam mesin Real Time PCR dalam bentuk sebuah grafik penambahan kopi DNA per satuan siklus PCR (Trani et al., 2005).
 RRT-PCR dapat dibedakan menjadi dua metode yaitu one-step RRT-PCR dan two-steps RRT PCR. One step RRT-PCR merupakan metode yang lebih umum dilakukan karena reaksi RT dan reaksi siklus PCR dilakukan dalam satu langkah. Akan tetapi pada two-steps RRT-PCR, reaksi RT dan reaksi siklus PCR dilakukan secara terpisah. Two-step RRT-PCR juga menggunakan primer yang berbeda pada masing-masing reaksi. Umumnya primer yang digunakan pada reaksi RT adalah oligo-dT kemudian dilanjutkan menggunakan primer Urutan Nukleotida Spesifik pada reaksi siklus PCR. Sedangkan One-step RRT-PCR hanya memerlukan satu primer yang spesifik terhadap kedua reaksi tersebut (Qiagen, 2007). RRT-PCR yang dilakukan dengan metode One step dapat menurunkan resiko terjadinya kontaminasi silang dan waktu yang dibutuhkan lebih cepat dibandingkan dengan two-steps RRT-PCR. Meskipun demikian One step RRT-PCR kurang sensitif jika dibandingkan dengan two-step RRT-PCR (Trani, 2005). Pengujian RRT-PCR sampel Avian Influenza untuk keperluan penelitian di Balai Besar Penelitian Veteriner dilakukan dengan metode one step.


Gambar 2. Grafik Real Time PCR
Interpretasi Hasil Real Time RT-PCR
·         Limit deteksi untuk Influenza Tipe A (Matrix gene-specific TaqMan assay) :
                     Ct < 33 = positif
                     Ct 33 – 38 ambiguous, perlu diulang atau diteliti lebih lanjut
                     Ct > 38 = negatif
·         Limit deteksi untuk subtipe H5 (Matrix gene-specific TaqMan assay) :
                     Ct < 36 = positif
                     Ct 36 – 40 ambiguous, perlu diulang atau diteliti lebih lanjut
                     Ct > 40 = negatif


Gambar 3. Hasil deteksi AI dengan Real Time RT-PCR
Berdasarkan gambar 3., garis CT memotong garis threshold di bawah siklus ke 36, yaitu di 10, 11, 22, dan 26 untuk masing-masing sampel 1,2,3, dan 4 yang kemudian dapat dinyatakan positif mengandung AI.
Pengembangan teknik dan metode diagnosa penyakit di Laboratorium Bioteknologi Balai Besar Veteriner Wates
Dalam upaya untuk memberikan pelayanan pemeriksaan laboratorium yang berkualitas sesuai kebutuhan masyarakat dan berorientasi pada kepuasan pelanggan, Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta melakukan berbagai pengembangan teknik uji sehingga didapatkan hasil yang lebih cepat dan akurat.
Pengembangan Teknik  Reverse Transcription Real Time PCR di Lab. Bioteknologi Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta :
1.      Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) : Real Time RT-PCR dan RT-PCR Konvensional.
2.      Newcastle Disease (ND) : Real Time RT-PCR dan RT-PCR Konvensional.
3.      Bovine Viral Diarrhoea (BVD) : Real Time RT-PCR dan RT-PCR Konvensional.
4.      Para-TB (Para-Tuberculosis) : Real Time-PCR (masih dalam pengembangan).
5.      Anthrax : PCR Konvensional.

6.      Uji deteksi adanya kandungan daging babi.

BAB VI
KESIMPULAN
1.      Metode RT-PCR Endpoint membutuhkan waktu kurang lebih 4 – 5 jam untuk menjalankan ekstraksi RNA, terdapat 40 siklus dalam metode RT-PCR ini (denaturasi, annealling dan ekstensi DNA) serta elektroforesis pada gel. Saat ini telah dikembangkan suatu teknik terbaru untuk RT-PCR yaitu Real Time RT-PCR (RRT-PCR). Teknik ini, menghilangkan tahap elektroforesis yang pada umumnya terdapat pada RT-PCR Endpoint sehingga hasilnya dapat langsung dibaca pada layar monitor komputer. Oleh karena itu, waktu yang dibutuhkan menjadi lebih singkat, atau kurang lebih 2 jam. RRT-PCR mempunyai sensitivitas 10 – 100 kali lebih tinggi daripada RT-PCR Endpoint. Deteksi Avian Influenza secara molekuler dengan menggunakan Real Time RT-PCR lebih cepat, efektif, dan efisien daripada mengguakan metode RT-PCR Endpoint.
2.      Laboratrium Bioteknologi Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta, dapat melakukan diagnosa penyakit :
         Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) : Real Time RT-PCR dan PCR Konvensional
         Newcastle Disease (ND) : Real Time RT-PCR dan PCR Konvensional
         Bovine Viral Diarrhoea (BVD) : Real Time RT-PCR dan PCR Konvensional
         Para-TB (Para-Tuberculosis) : Real Time-PCR (dalam pengembangan)
         Anthrax : PCR Konvensional
         Uji Deteksi Adanya Kandungan Daging Babi

Cari

Copyright Text