Ekosistem
pantai memiliki ciri tersendiri dibandingkan dengan ekosistem di tempat-tempat
lainnya. Ekosistem pantai ditandai dengan berkembangnya tipe hutan bakau
(mangrove) sehingga ekosistem pantai dapat juga disebut ekosistem hutan bakau, khususnya
di daerah tropis. Hutan bakau/hutan payau/hutan pasang surut adalah sejenis
hutan tropika yang khas tumbuh dan berkembang di kawasan pinggir pantai dan
muara-muara sungai. Pohon-pohonnya mempunyai akar-akar tunjang untuk bernafas. Akarnya
melengkung dan mencuat ke atas sehingga tidak selamanya terendam air. Lingkungan
fisik tempat tumbuhnya hutan bakau meliputi daerah pasang surut sampai airnya asin
dan tanahnya berlumpur. Hutan bakau tersebar di sepanjang pantai Indonesia,
terutama pada pantai yang datar seperti pantai timur Sumatra, pantai utara
Pulau Jawa, pantai selatan Kalimantan, dan pantai-pantai lainnya yang ditumbuhi
bakau secara alami. Hutan bakau dapat hidup dengan subur kalau wilayah pesisir tersebut
memenuhi syarat-syarat seperti berikut:
- Terlindungi dari gempuran ombak dan arus pasang surut yang kuat.
- Daerahnya landai atau datar.
- Memiliki muara sungai yang besar dan delta.
- Aliran sungai banyak mengandung lumpur.
- Temperatur antara 20°-40° C.
- Kadar garam air laut antara 10-30 per mil.
Hutan bakau di
Indonesia merupakan yang terluas di dunia, akan tetapi sekarang banyak hutan
bakau yang telah musnah dan rusak akibat penebangan–penebangan, baik diambil
kayunya untuk dijadikan arang maupun diubah menjadi tambak-tambak ikan. Perkiraan
luas hutan bakau di dunia sekitar 18 juta hektar. 8,6 juta hektar diantaranya
atau 47,8% berada di Indonesia. Sayang sekali dari 8,6 juta hektar yang ada di
Indonesia, hanya tinggal sekitar 32% yang baik, sedangkan selebihnya 68% atau
5,9 juta hektartelah musnah dan rusak.
Berdasarkan
identifikasi dan penelitian Dirjen Rehabilitasi Lahan, kerusakan hutan bakau
yang terbesar terdapat di luar kawasan hutan yang mencapai 4,2 juta hektar
(87,5%) sedangkan di dalam kawasan hutan mencapai 1,7 juta hektar (44,73%). Kawasan
hutan bakau banyak menyediakan nutrisi (makanan bergizi) bagi makhluk-makhluk
lainnya pada ekosistem tersebut. Makhluk hidup yang banyak ditemukan di
ekosistem ini antara lain ikan, kepiting, udang, siput, tiram, cacing, burung,
monyet, dan pada beberapa ekosistem pantai terdapat pula buaya. Ekosistem
pantai yang tertutup hutan bakau memiliki manfaat yang besar bagi manusia. Menurut
Davis, Claridge dan Natarina (1995), hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat
sebagai berikut :
- Habitat satwa langka
Hutan bakau
sering menjadi habitat jenis-jenis satwa. Lebih dari 100 jenis burung hidup
disini, dan daratan lumpur yang luas berbatasan dengan hutan bakau merupakan
tempat mendaratnya ribuan burug pantai ringan migran, termasuk jenis burung
langka Blekok Asia (Limnodrumus semipalmatus).
- Pelindung terhadap bencana alam
Vegetasi hutan
bakau dapat melindungi bangunan, tanaman pertanian atau vegetasi alami dari
kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam melalui proses filtrasi.
- Pengendapan lumpur
Sifat fisik
tanaman pada hutan bakau membantu proses pengendapan lumpur. Pengendapan lumpur
berhubungan erat dengan penghilangan racun dan unsur hara air, karena
bahan-bahan tersebut seringkali terikat pada partikel lumpur. Dengan hutan
bakau, kualitas air laut terjaga dari endapan lumpur erosi.
- Penambah unsur hara
Sifat fisik
hutan bakau cenderung memperlambat aliran air dan terjadi pengendapan. Seiring
dengan proses pengendapan ini terjadi unsur hara yang berasal dari berbagai
sumber, termasuk pencucian dari areal pertanian.
- Penambat racun
Banyak racun
yang memasuki ekosistem perairan dalam keadaan terikat pada permukaan lumpur
atau terdapat di antara kisi-kisi molekul partikel tanah air. Beberapa spesies
tertentu dalam hutan bakau bahkan membantu proses penambatan racun secara aktif.
- Sumber alam dalam kawasan (In-Situ) dan luar Kawasan (Ex-Situ)
Hasil alam
in-situ mencakup semua fauna dan hasil pertambangan atau mineral yang dapat
dimanfaatkan secara langsung di dalam kawasan. Sedangkan sumber alam ex-situ
meliputi produk-produk alamiah di hutan mangrove dan terangkut/berpindah ke
tempat lain yang kemudian digunakan oleh masyarakat di daerah tersebut, menjadi
sumber makanan bagi organisme lain atau menyediakan fungsi lain seperti
menambah luas pantai karena pemindahan pasir dan lumpur.
- Transportasi
Pada beberapa
hutan mangrove, transportasi melalui air merupakan cara yang paling efisien dan
paling sesuai dengan lingkungan.
- Sumber plasma nutfah
Plasma nutfah
dari kehidupan liar sangat besar manfaatnya baik bagi perbaikan jenis-jenis
satwa komersial maupun untukmemelihara populasi kehidupan liar itu sendiri.
- Rekreasi dan pariwisata
Hutan bakau
memiliki nilai estetika, baik dari faktor alamnya maupun dari kehidupan yang
ada di dalamnya. Hutan mangrove yang telah dikembangkan menjadi obyek wisata
alam antara lain di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung,
Denpasar (Bali), Blanakan dan Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah).
Hutan mangrove memberikan obyek wisata yang berbeda dengan obyek wisata alam
lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan laut
memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga memperoleh pelajaran
tentang lingkungan langsung dari alam. Pantai Padang, Sumatera Barat yang
memiliki areal mangrove seluas 43,80 ha dalam kawasan hutan, memiliki peluang
untuk dijadikan areal wisata mangrove.
Kegiatan
wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung bagi pengelola melalui
penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu menumbuhkan perekonomian
masyarakat di sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja dan kesempatan
berusaha, seperti membuka warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu
wisata.
- Sarana pendidikan dan penelitian
Upaya
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan laboratorium lapang
yang baik untuk kegiatan penelitian dan pendidikan.
- Memelihara proses-proses dan sistem alami
Hutan bakau
sangat tinggi peranannya dalam mendukung berlangsungnya proses-proses ekologi,
geomorfologi, atau geologi di dalamnya.
- Penyerapan karbon
Proses
fotosentesis mengubah karbon anorganik (C02) menjadi karbon organik dalam bentuk
bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem, bahan ini membusuk dan
melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai (C02). Akan tetapi hutan bakau
justru mengandung sejumlah besar bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu,
hutan bakau lebih berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan dengan sumber
karbon.
- Memelihara iklim mikro
Evapotranspirasi
hutan bakau mampu menjaga ketembaban dan curah hujan kawasan tersebut, sehingga
keseimbangan iklim mikro terjaga.
- Mencegah berkembangnya tanah sulfat masam
Keberadaan
hutan bakau dapat mencegah teroksidasinya lapisan pirit dan menghalangi
berkembangnya kondisi alam.
Lingkungan fisik dan zonasi
Jenis-jenis
tumbuhan hutan bakau ini bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi lingkungan
fisik di atas, sehingga memunculkan zona-zona vegetasi tertentu. Beberapa
faktor lingkungan fisik tersebut adalah:
Jenis tanah
Sebagai
wilayah pengendapan, substrat di pesisir bisa sangat berbeda. Yang paling umum
adalah hutan bakau tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan
organik. Akan tetapi di beberapa tempat, terdapat bahan-bahan organik yang
dengan jumlah dan konsentrasi yang sangat banyak. Substrat yang lain adalah
lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan pecahan karang,
di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang.
- Terpaan ombak
Bagian luar
atau bagian depan hutan bakau yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus
mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat. Tidak seperti bagian
dalamnya yang lebih tenang. Yang agak serupa adalah bagian-bagian hutan yang
berhadapan langsung dengan aliran air sungai, yakni yang terletak di tepi
sungai. Perbedaannya, salinitas di bagian ini tidak begitu tinggi, terutama di
bagian-bagian yang agak jauh dari muara.
- Penggenangan oleh air pasang
Bagian luar
juga mengalami genangan air pasang yang paling lama dibandingkan bagian yang
lainnya, bahkan seringkali terus menerus dalam keadaan terendam. Pada keadaan
yang lain, bagian-bagian di pedalaman hutan mungkin hanya terendam air laut
manakala terjadi pasang tertinggi sekali dua kali dalam sebulan.
Menghadapi
variasi-variasi kondisi lingkungan seperti ini, secara alami terbentuk zonasi
vegetasi mangrove, yang biasanya berlapis-lapis mulai dari bagian terluar yang
terpapar gelombang laut, hingga ke pedalaman yang memiliki tingkat kebasahan
yang relatif kering.
- Jenis-Jenis Tanaman Bakau yang menjadi komposisi Hutan Bakau
Jenis-jenis
bakau (Rhizophora spp.) biasanya
tumbuh di bagian terluar yang kerap digempur ombak. Bakau Rhizophora apiculata dan R.
mucronata tumbuh di atas tanah lumpur. Sedangkan bakau R. stylosa dan perepat (Sonneratia
alba) tumbuh di atas pasir berlumpur. Pada bagian laut yang lebih tenang
hidup api-api hitam (Avicennia alba)
di zona terluar atau zona pionir ini.
Di bagian
lebih ke dalam, yang masih tergenang pasang tinggi, biasa ditemui campuran
bakau R. mucronata dengan jenis-jenis kendeka (Bruguiera spp.), kaboa (Aegiceras
corniculata) dan lain-lain. Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar
airnya, biasa ditemui nipah (Nypa
fruticans), pidada (Sonneratia
caseolaris) dan bintaro (Cerbera
spp.).
Pada bagian
yang lebih kering di pedalaman hutan didapatkan nirih (Xylocarpus spp.), teruntum (Lumnitzera
racemosa), dungun (Heritiera
littoralis) dan kayu buta-buta (Excoecaria
agallocha).
- Suksesi hutan bakau
Tumbuh dan
berkembangnya suatu hutan dikenal dengan istilah suksesi hutan (forest
succession atau sere). Hutan bakau merupakan suatu contoh suksesi hutan di
lahan basah (disebut hydrosere). Dengan adanya proses suksesi ini, perlu
diketahui bahwa zonasi hutan bakau pada uraian di atas tidaklah kekal,
melainkan secara perlahan-lahan bergeser.
Suksesi
dimulai dengan terbentuknya suatu paparan lumpur (mudflat) yang dapat berfungsi
sebagai substrat hutan bakau. Hingga pada suatu saat substrat baru ini diinvasi
oleh propagul-propagul vegetasi mangrove, dan mulailah terbentuk vegetasi
pionir hutan bakau.
Tumbuhnya
hutan bakau di suatu tempat bersifat menangkap lumpur. Tanah halus yang
dihanyutkan aliran sungai, pasir yang terbawa arus laut, segala macam sampah
dan hancuran vegetasi, akan diendapkan di antara perakaran vegetasi mangrove.
Dengan demikian lumpur lambat laun akan terakumulasi semakin banyak dan semakin
cepat. Hutan bakau pun semakin meluas.
Pada saatnya
bagian dalam hutan bakau akan mulai mengering dan menjadi tidak cocok lagi bagi
pertumbuhan jenis-jenis pionir seperti Avicennia alba dan Rhizophora mucronata.
Ke bagian ini masuk jenis-jenis baru seperti Bruguiera spp. Maka terbentuklah
zona yang baru di bagian belakang.
Demikian
perubahan terus terjadi, yang memakan waktu berpuluh hingga beratus tahun.
Sementara zona pionir terus maju dan meluaskan hutan bakau, zona-zona berikutnya
pun bermunculan di bagian pedalaman yang mengering.
Uraian di atas
adalah penyederhanaan, dari keadaan alam yang sesungguhnya jauh lebih rumit.
Karena tidak selalu hutan bakau terus bertambah luas, bahkan mungkin dapat
habis karena faktor-faktor alam seperti abrasi. Demikian pula munculnya
zona-zona tak selalu dapat diperkirakan.
Di wilayah-wilayah yang sesuai,
hutan mangrove ini dapat tumbuh meluas mencapai ketebalan 4 km atau lebih,
meskipun pada umumnya kurang dari itu.