Terapi Interferon dan Obat Antiviral Baru untuk Penyakit Hepatitis C Kronis

Hepatitis C Virus ditemukan pada tahun 1989 oleh Choo, et al di United States. Hampir 90% orang yang sebelumnya telah didiagnosa mengidap penyakit hepatitis non-A dan non-B (NANB) dan lebih dari setengahnya yang sebelumnya didiagnosa mengidap alcohol liver disease ditemukan dugaan bahwa mengidap penyakit hati akibat HCV.

Oleh karena itu jurnal ini membahas kemajuan terapi interferon (IFN) sebagai pengobatan hepatitis C kronis dan juga mendiskusikan terapi kombinasi antara Pegylated IFN (Peg-IFN) dan Ribavirin (RBV) sebagai pengobatan yang terakhir dan yang paling efektif untuk penyakit hepatitis C.

Pada awalnya, penelitian mengacu pada tiga tingkatan, yaitu Sustained Virologic Response (SVR), kambuhnya, dan non-response (NR), dimana pengaruh IFN dapat dikatakan kurang lebih masing-masing satu pertiga. Namun, seiring berjalannya waktu semakin jelas bahwa, faktor virus sangat mempengaruhi efektivitasnya. Oleh karena itu, variasi metode pengobatan terus dilakukan untuk menaikkan efektivitasny, khususnya untuk melawan kuatnya penyakit hepatitis C.

Peg-IFN, merupakan salah satu formulasi farmasi dasar yang digunakan untuk terapi IFN masa kini, dimana IFN dicampur dengan polyethylene glycol. Namun, dikarenakan Peg-IFN penyerapannya bertahap dan pembersihannya lambat daripada IFN biasa, jadi satu kali dalam seminggu cukup untuk tetap dapat menjaganya dalam konsentrasi darah.

Ribavirin (RBV) ditemukan pada tahun 1972, merupakan analog nukleosida oral yang memiliki spektrum luas aktivitas antivirus melawan virus RNA dan DNA secara in vitro. Walaupun RBV tidak pernah ditemukan efektif melawan hepatitis C, kombinasi antara Peg-IFN dan RBV dilaporkan telah meningkatkan keberhasilan terapi pada tahun 1998.

Seperti yang telah dicoba pada negara-negara di US, Eropa serta di Jepang. Dari ketiganya menunjukkan efektivitas dari kombinasi kedua terapi tersebut yang tinggi, jika dilihat dari SVR dan Relapse HCV-RNA. Namun berita baik tersebut masih terkendala oleh beberapa masalah yaitu pada optimasi periode perngobatan, kepatuhan pengobatan dari pasien penderita yang sangat mempengaruhi persentase SVR, pasien dengan presistensi normal ALT (PNALT) dimana IFN monotherapy tidak terlalu efektif mengobati penyakit hepatitis C, dan metode pengobatan itu sendiri dimana respons virus yang menjadi pertimbangan.

Adapula agen antivirus yang baru untuk pengobatan penyakit hepatitis C juga dipaparkan, protease inhibitor, polymerase inhibitor yang selektif terhadap agen antivirus HCV dan Toll-like reseptor (TLR) agonists.


Pada jurnal tersebut disimpulkan bahwa semenjak ditemukannya monoterapi IFN hingga sekarang telah ditemukan banyak sekali metode yang dapat digunakan untuk terapi pengobatan penyakit hepatitis C, hingga yang terakhir adalah kombinasi terapi Peg-IFN dengan Ribovirin (RBV). Namun memang masih sulit untuk menangani kasus genotype 1 dengan muatan virus yang tinggi. Dilain hal untuk meningkatkan keberhasilan terapi daripada menggunakan pola penyeragaman yang tergantung pada genotipe dan tingkatan HCV-RNA, lebih baik meningkatkan intensitas pengobatan selama terapi untuk mengatur tingkat respons setiap pengobatan antivirus pada setiap penderita. Selain itu protease inhibitor menunjukkan kuatnya aktivitas antivirus dalam melawan hepatitis C termasuk pada kasus genotipe 1. Dan dapat disimpulkan bahwa kombinasi antara protease inhibitor dengan Peg-IFN(+RBV) sangat ditunggu untuk diteliti sebagai variasi lain pada terapi penyakit hepatitis C ini.

Cari

Copyright Text