Deteksi FLU BURUNG dengan METODE Reverse Transcription - PCR (RT-PCR) part 3

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1.        Morfologi dan Struktur Virus Avian Influenza
Virus avian influenza termasuk famili Orthomyxoviridae dengan genus influenza yang terdiri dari 3 tipe yaitu: A, B dan C. Virus avian influenza merupakan virus RNA yang single-stranded. Genomnya terdiri dari 8 segmen yang mengkode 10 protein. Diameter virus sekitar 80 X 120 nm. Karakteristik virus ini berkapsul yang mengandung lipoprotein dan merupakan antigen permukaan. Terdapat 2 jenis protein permukaan yaitu hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA). Hemaglutinin bersifat mengaglutinasi sel darah merah dan berfungsi untuk melekat, menginvasi sel hospes dan kemudian bereplikasi. Nueraminidase merupakan suatu enzim untuk memecahkan ikatan partikel virus sehingga virus baru terlepas dan dapat menginfeksi sel baru yang lain (Greenwood et.al., 1997).
Di antara ketiga tipe virus influenza ini, hanya tipe A (Gambar 1.) yang mempunyai subtipe paling banyak, terdiri dari H1 sampai H1619 dan N1 sampai N9. Virus influenza tipe A cepat bermutasi karena antigennya bersifat drift dan shift.
Antigenic shift terjadi karena terdapat perubahan mayor pada protein HA maupun Na melalui genetic reassortment. Bila 2 virus yang berbeda dari 2 hospes berbeda menginfeksi hospes ke 3, misalnya babi, maka akan timbul subtipe virus baru yang mampu menginfeksi hospes lain termasuk manusia dan tidak dikenal oleh sistem imun hospes (Padhi et.al., 2004; Zhou et.al., 1999; Castrucci et.al., 1993).
Perubahan ini terjadi secara mendadak sehingga dalam waktu singkat dapat mengenai sejumlah besar populasi yang rentan sehingga timbul pandemi. Antigenic shift hanya terdapat pada virus influenza A.
Antigenic drift merupakan perubahan minor pada komposisi antigen akibat misens mutation. Meskipun terjadi perubahan struktur antigen, tetapi fungsinya masih sama.
Adanya subtipe disebabkan perbedaan kedua jenis antigen HA (H1–H16) dan NA (N1–N9). Kombinasi yang berbeda antara HA dan NA akan membentuk subtipe yang berbeda beda. Hingga saat ini hanya beberapa subtipe virus influenza A yang menimbulkan penyakit pada manusia yaitu H1N1, H1N2 dan H3N2. Semua subtipe virus influenza A dapat menginfeksi burung dan ternak, tetapi hanya subtipe H5 terutama H5N1 dan H7N7 yang sangat patogen dapat menginfeksi manusia serta menimbulkan wabah flu burung yang berbahaya (Yuen et.al., 2005).
Virus influenza tipe B hanya memiliki variasi antigenic drift, sering menimbulkan epidemi dan hanya menginfeksi manusia. Virus influenza tipe C memiliki antigen yang stabil sehingga menyebabkan penyakit influenza ringan dan hanya menginfeksi manusia.
Gambar 1. Struktur Virus Influenza A
2.        Sifat-sifat Virus Avian Influenza
Virus H5N1 dapat bertahan hidup di air pada suhu 22°C sampai empat hari lamanya dan pada suhu 0°C dapat hidup selama 30 hari. Di dalam tinja atau tubuh unggas yang sakit virus dapat hidup lebih lama (Greenwood et.al., 1997).
Virus H5N1 yang berada dalam daging ayam akan mati bila dipanaskan pada suhu 56°C selama 3 jam atau 60°C selama 30 menit dan 80°C selama 1 menit. Virus yang berada dalam telur ayam akan mati bila direbus pada suhu 64°C selama 5 menit. Virus juga akan mati bila terkena detergent atau desinfektan seperti formalin, iodium dan alkohol 70% (Greenwood et.al., 1997).
3.        Penyebaran Virus Avian Influenza
Penyebaran virus avian influenza di kalangan unggas sangat cepat, antara lain melalui air liurnya. Burung-burung liar yang hidup di air, merupakan reservoar alam virus avian influenza di dalam saluran cernanya, Widyasari Avian influenza pada manusia dapat mentolerir infeksi virus ini. Burung burung liar yang suka bermigrasi sering membuang kotorannya ke danau, kolam atau sungai sehingga bila unggas yang hidup di darat, khususnya ayam dan bebek minum air yang terkontaminasi tinja yang mengandung virus avian influenza, unggas tersebut akan sakit.
4.        Diagnosa Avian Influenza dengan Metode Molekuler
Kualitas sampel adalah faktor penting dalam isolasi dan identifikasi virus Influenza. Jaringan yang sudah mengalami autolisis atau swab yang terkontaminasi dapat mengurangi sensitivitas dan spesifisitas pada isolasi dan identifikasi virus Influenza sehingga diperlukan uji yang lebih sensitif dan spesifik. Karena alasan inilah, teknik-teknik yang berkembang saat ini seperti Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) banyak digunakan untuk mendeteksi virus Influenza (OIE, 2004). Waktu yang dibutuhkan juga lebih cepat apabila dibandingkan dengan isolasi dan identifikasi dengan kultur pada jaringan atau telur SPF. Hal ini dikarenakan teknik RT-PCR langsung dapat mendeteksi Avian Influenza dari swab kloaka atau swab trakea dalam media transpor. Selain itu, isolat virus Avian Influenza dari cairan allantois telur SPF juga dapat digunakan sebagai sampel untuk RT-PCR (Suarez et al., 1997).
Avian Influenza adalah virus single-stranded RNA sehingga pada reaksi PCR diperlukan suatu tahap sintesa copi DNA (cDNA). Tahap ini membutuhkan suatu enzim transcriptase balik (reverse transcriptase) (Diamond, 2006). Beberapa enzim transcriptase balik yang dapat digunakan antara lain Taq DNA Polymerase mesophilic viral reverse transcriptase (RTase) dan Tth DNA Polymerase. Taq DNA Polymerase adalah enzim yang tahan pada suhu tinggi dan mempunyai laju polimerase yang tinggi serta kemampuan yang tinggi untuk menggabungkan nukleotida dengan suatu primer secara terus menerus tanpa terdisosiasi dari komplek primer-DNA cetakan (prosesivitas). RTase yang dikode oleh virus avian mycoblastosis (AMV) atau M-MuLV bersifat sangat prosesif dan mampu mensintesis cDNA sampai sepanjang 10 kb, sedangkan Tth DNA Polymerase mampu mensintesis cDNA sampai sepanjang 1-2 kb. Berdasarkan alasan di atas, maka uji ini disebut sebagai Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) (Yuwono, 2006).
Prinsip dari RT-PCR adalah ekstraksi virus RNA disintesis menjadi complementary DNA (cDNA) dengan menggunakan Reverse Transcriptase. Kemudian cDNA digunakan sebagai template untuk PCR yang akan menghasilkan complementary double strand (dsDNA) yang dihasilkan melalui siklus denaturasi, annaelling dan ekstensi yang didukung dengan adanya primer sense, antisense spesifik dan thermal stable Taq Polymerase (Viljoen et al., 2005).
Reaksi RT-PCR konvensional selama ini membutuhkan waktu kurang lebih 4 – 5 jam untuk ekstraksi RNA, proses 40 siklus PCR (denaturasi, annealling dan ekstensi DNA) serta elektroforesis pada gel. Oleh karena itu, saat ini telah dikembangkan suatu teknik terbaru RT-PCT yaitu Real Time RT-PCR (RRT-PCR). Dalam teknik ini, tahap elektroforesis dihilangkan dan hasil langsung dapat dibaca di layar monitor komputer sehingga waktu yang dibutuhkan lebih singkat, kurang lebih 2 jam. RRT-PCR mempunyai sensitivitas 10 – 100 kali lebih tinggi daripada RT-PCR (Trani et al., 2005).
Prinsip kerja dari RRT-PCR ini hampir sama dengan RT-PCR konvensional yaitu denaturasi, annealling dan ekstensi. Namun di dalam RRT-PCR perjalanan reaksi dilihat per satuan waktu (siklus) dalam RRT-PCR digunakan probe (penanda) yang menempel pada cetakan DNA, dimana dalam probe tersebut dilengkapi dengan reporter (pembawa sinyal) dan quencher (penahan sinyal). Jika primer memulai ekstensi DNA, selanjutnya ekstensi DNA yang diperantarai oleh enzim polymerase akan menghantam probe DNA menyebabkan lepasnya ikatan reporter dan quencher. Terlepasnya ikatan ini mengakibatkan terbacanya emisi sinyal reporter oleh perangkat filter dalam mesin Real Time PCR dalam bentuk sebuah grafik penambahan kopi DNA per satuan siklus PCR (Trani et al., 2005).


Cari

Copyright Text