Orang tua atau keluarga
pasti menginginkan untuk dapat memiliki bayi yang sehat. Tapi keinginan itu
juga diiringi dengan kecemasan akan sang bayi yang mungkin dapat benar-benar
normal tanpa ada suatu kekurangan apapun atau tidak. Akhirnya muncul berbagai
pertanyaan di dalam benak sang orang tua, antara lain tentang apa yang harus
dilakukan kemudian.
Dengan kemajuan
teknologi saat ini, informasi seputar medis yang dimiliki oleh janin yang masih
berada di dalam kandungan dapat diketahui dengan tes pranatal untuk meyakinkan
pihak orang tua bahwa janinnya berada dalam kondisi yang sehat.
Periode pranatal
merupakan periode pertama dalam rentang kehidupan manusia. Periode ini
merupakan periode yang terpenting dari semua periode perkembangan, karena
memberi dasar untuk perkembangan selanjutnnya. Perkembangan periode pranatal
ditandai dengan konsepsi (bertemunya ovum dengan sperma), dan diakhiri dengan
kelahiran, dengan jangka waktu kurang lebih sembilan bulan sepuluh hari.
Ciri-ciri pada periode pranatal adalah :
1. Sifat-sifat
bawaan dan jenis kelamin individu sudah ditetukan sejak konsepsi, dan berfungsi
sebagai dasar bagi perkmbangan selanjutnya.
2. Baik
buruknya perkembangan sifat bawaan, tergantung kondisi ibu yang mengandung.
3. Banyak
bahaya, baik fisik maupun psikis yang dapat mempengaruhi pola perkembangan
selanjutnya.
Tes yang dilakukan
sebelum melahirkan (prenatal test) dilakukan dengan beberapa tujuan, antara
lain untuk:
- Mengidentifikasi atau mendeteksi
permasalahan-permasalahan kesehatan pada ibu yang mungkin dapat
mempengaruhi kesehatan bayinya;
- Mengidentifikasi karakteristik
janin, yaitu meliputi ukuran, jenis kelamin, umur, dan letak atau posisi
janin di dalam kandungan;
- Melihat apakah janin mempunyai
kemungkinan terkena penyakit-penyakit atau masalah yang bersifat menurun
(genetis) atau kelainan kromosom;
- Mengetahui kelainan-kelainan
tertentu pada janin, misalnya kelainan jantung.
Di bawah ini ada
beberapa macam tes pra-kelahiran yang umum dilakukan secara rutin di Amerika
Serikat, yaitu:
1. Amniocentesis
Amniocentesis sering
digunakan untuk mendeteksi penyakit Sindrom Down dan kelainan-kelainan kromosom
lainnya, cacat-cacat structural, misalnya anencephaly, atau kelainan-kelainan
dalam proses metabolisme yang diturunkan. Tes ini disarankan bagi wanita yang
berusia 35 tahun ke atas, memliliki sejarah keluarga dengan kelainan-kelainan
genetis tertentu (baik dirinya sendiri atau suaminya), atau bagi wanita yang
pernah memiliki anak dengan cacat sejak lahir. Tes ini memiliki akurasi sampai
hampir seratus persen, tetapi hanya kelainan-kelainan tertentu yang dapat
dideteksi. Tes ini biasanya dilakukan pada saat janin berusia 16 sampai 18
minggu.
2. Maternal
Blood Screening
Tes ini digunakan oleh
dokter hanya untuk menguji alpha-fetoprotein (AFP) pada darah wanita yang
sedang hamil. AFP dalam jumlah yang terlalu banyak atau terlalu sedikit
mengindikasikan adanya masalah. Perlu digarisbawahi bahwa tes ini hanya untuk
menentukan resiko saja, tidak mendiagnosis kondisi janin. Tes ini biasanya
dilakukan ketika janin berumur 16 sampai 18 minggu.
3. Chorionic
Villus Sampling (CVS)
CVS memiliki manfaat
yang mirip dengan amniocentesis, yaitu dapat digunakan untuk mengetahui
kelainan-kelainan genetik, misalnya Sindroma Down. Tes ini dapat dilakukan
lebih awal daripada amniocentesis, yaitu ketika janin berumur 10 sampai 12
minggu..
4. Ultrasound
Pada tes ini, gelombang
suara dipantulkan pada tulang-tulang dan jaringan-jaringan janin untuk
membentuk suatu gambaran yang menunjukkan bentuk janin dan posisinya di dalam
rahim. Tes ini biasa digunakan untuk mengetahui umur janin, tingkat pertumbuhan
janin, posisi janin sekaligus posisi plasenta, pergerakan, pernafasan, detak
jantung janin, jumlah janin (kembar atau tidak), dan jumlah cairan amnion di
dalam kandungan. Tes ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi Sindroma Down
dan kelainan kromosom lainnya, cacat struktural seperti anencephaly, dan
kelainan dalam proses metabolisme yang diturunkan. Cacat sejak lahir seperti
cacat ginjal, bibir membelah (sumbing), dan kehamilan di luar rahim juga dapat
diketahui melalui tes ini. Biasanya tes ini dilakukan ketika janin berumur 16
sampai 18 minggu. Tetapi tes ini dapat dilakukan kemudian atau lebih awal jika
ingin mengetahui perkembangan janin.
5. Glucose
Screening
Tes ini dilakukan untuk
menguji kemungkinan terjadinya diabetes yang dialami pada masa kehamilan, yang
dapat juga menyebabkan permasalahan kesehatan pada janin. Biasanya tes ini
dilakukan ketika janin berumur 24 minggu. Tetapi tes ini dapat dilakukan lebih
awal jika diketahui kadar gula wanita yang hamil dalam dua kali tes urin rutin
cukup tinggi.
6. Nonstress
Test
Tes ini dilakukan jika
melewati tanggal kelahiran. Tes ini untuk mengetahui gerakan-gerakan bayi dan
dapat membantu dokter untuk memastikan bahwa bayi mendapatkan oksigen yang
cukup. Bayi dalam kondisi bahaya jika tidak memberikan respon yang positif. Tes
ini disarankan untuk ibu yang mempunyai resiko tinggi kehamilan, dan biasanya
dilakukan setelah satu minggu setelah melewati tanggal kelahiran.
7. Contraction
Stess Test
Tes ini untuk
merangsang kelahiran yang biasanya dilakukan jika tes nonstress test menghasilkan
atau menunjukkan suatu masalah. Biasanya dilakukan ketika janin berumur 40
minggu.
8. Percutaneous
Umbilical Vein Sampling (PUVS)
Tes ini merupakan
tambahan setelah dilakukan tes ulttrasound atau amniocentesis. Keuntungan atau
kelebihan pada kecepatan dalam memberikan hasil. PUVS hanya membutuhkan 3 hari
untuk menunjukkan hasil, sedangkan amniocentesis membutuhkan waktu 1 bulan .
Biasanya dilakukan pada akhir-kahir kehamilan setelah suatu kelainan diketahui
melalui ultrasound dan amniocentesis tidak cukup membantu dalam memutuskan atau
ketika ibu terserang penyakit yang mudah tersebar yang dapat membahayakan atau
mempengaruhi perkembangan janin. Biasanya dilakukan ketika bayi berumur 18
sampai 36 minggu.
Ultrasonografi
Dari kedelapan metode
tes pra-kelahiran di atas, hanya tes ultrasound yang bersifat noninvasive atau
sama sekali tidak berhubungan atau kontak langsung dengan janin, sehingga tidak
membahayakan janin.
Berdasarkan penelitian,
ada beberapa keuntungan metode Ultrasound, yaitu:
- Ultrasound tidak menggunakan sinar
X untuk menghasilkan gambaran janin sehingga baik ibu maupun janin yang
sedang dikandungnya tidak memiliki resiko untuk terkena dampak radiasi;
- Ultrasound telah digunakan untuk
mengevaluasi kehamilan selama hampir empat dekade, dan selama kurun waktu
itu tidak ada bukti atau laporan bahwa metode ini berbahaya bagi pasien,
embrio, atau janin. Tetapi meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan
bahwa Ultrasound harus dilakukan dalam situasi-situasi klinis
tertentu.
Cara Kerja
Ultrasonografi
USG atau ultrasonografi
adalah alat bantu diagnostik di bidang kedokteran untuk menampilkan gambaran
struktur bagian dalam tubuh manusia yang bekerja dengan menggunakan bantuan
teknologi gelombang suara frekuensi tinggi seperti yang dimiliki kelelawar.
Alat ini terdiri atas monitor dan transducer. Transduser merupakan
alat yang akan mentransfer pantulan gelombang suara menjadi sebentuk gambar
yang akan tampil dilayar monitoir, hasilnya disebut sonogram.
Berdasarkan cara
kerjanya dibedakan menjadi dua, yang pertama transduser ditempelkan di
permukaan kulit tubuh (bagian perut) yang disebut USG Transabdominal.
Sebelum transduser ditempelkan dipermukaan perut, permukaan kulit dilapisi
dengan suatu ultrasound gel agar-agar khusus. Lalu transduser digerakkan keatas
dan kebawah. Pada saat itu juga komputer akan menerjemahkan gelombang suara
kedalam suatu bentuk gambar. Sebelum menjalani pemerikasaan ultrasonografi ini,
pasien diminta untuk meminum air putih dalam jumlah yang cukup banyak, untuk
memudahkan pemeriksaan karena gelombang suara merambat lebih baik dalam air.
Cara yang kedua,
transduser dimasukkan ke dalam tubuh melalui vagina sehingga disebut USG
Transvaginal. Biasanya cara yang kedua ini dilakukan pada kehamilan muda.
Sebelum menjalani pemeriksaan, pasien diminta untuk mengosongkan kantung kemih
sehingga mempermudah masuknya transduser kedalam rahim.
Pada awalnya, metode
Ultrasound yang dikembangkan adalah metode Ultrasound dua dimensi. Ada dua
macam Ultrasound dua dimensi, yaitu Ultrasound Doppler dan Ultrasound berwarna.
Ultrasound Doppler hanya menampilkan gambar hitam putih, dan biasa digunakan
untuk mengamati denyut jantung janin. Ultrasound dengan warna masih menampilkan
gambar dua dimensi, tetapi dalam warna-warna khusus yang biasanya ditujukan
untuk memperbaiki kualitas gambar. Namun bukan berarti warna organ yang
ditampilkan pada monitor adalah warna organ yang sesungguhnya.
Perkembangan
selanjutnya, metode Ultrasound yang digunakan adalah Ultrasound tiga dimensi
(3D). Ultrasound 3D memberikan gambar yang berkualitas lebih baik, yaitu
memiliki volume. Gambar yang ditampilkan tidak datar (hanya terdiri dari
panjang dan lebar saja), tetapi juga memiliki ketebalan. Oleh sebab itu, jenis
Ultrasound ini lebih sering digunakan untuk mengamati organ yang perlu dilihat
volumenya, misalnya melihat adanya anomali atau keanehan congenital atau cacat
pada kerangka janin.
Perkembangan terakhir
dari metode Ultrasound ini adalah ditemukannya Ultrasound empat dimensi (4D).
Ultrasound 4D merupakan penyempurnaan dari Ultrasound 3D yang tidak hanya
menampilkan gambaran tiga dimensi, tetapi juga menciptakan gambaran yang
bergerak. Teknik Ultrasound 4D menghadirkan perbedaan antara video dengan
sekedar foto. Melalui revolusi teknologi ini, gambaran tiga dimensi janin
dikembangkan menjadi semacam “gambaran hidup”, sehingga perkembangan janin
dapat dianalisis dengan jauh lebih baik.
Tinjauan Etika
Meskipun berdasarkan
penelitian sampai saat ini metode Ultrasound tidak menimbulkan dampak bagi ibu
atau janin yang dikandungnya, bukan berarti pemanfaatan metode ini lepas sama
sekali dari masalah-masalah etika. Beberapa permasalahan etika dapat muncul
setelah dilakukannya tes, tepatnya setelah hasil tes dikeluarkan oleh dokter.
Hasil tes yang
menunjukkan keadaan janin normal tanpa masalah apapun, entah itu karakteristik
janin, ukuran janin, usia janin, posisi, maupun letak janin di dalam rahim,
tentu tidak akan menimbulkan masalah lebih lanjut bagi orang tua janin
tersebut. Berbeda bila hasil tes menunjukkan bahwa janin memiliki
kekurangan-kekurangan atau cacat tertentu. Hasil yang negatif akan
mengakibatkan orang tua harus berpikir lebih lanjut mengenai rencana
selanjutnya yang akan dilakukan terhadap janin di dalam kandungan tersebut.
Orang tua yang bersikap menerima mungkin masih akan membiarkan janin tersebut
melanjutkan perkembangannya di dalam rahim ibunya sampai kelahirannya, bahkan perawatannya
sampai tumbuh dewasa. Situasi yang mungkin juga terjadi adalah orang tua yang
tidak dapat menerima kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh janinnya dan
tidak mau berpikir panjang lalu memutuskan untuk mengakhiri kehamilan
(melakukan pengguguran kandungan atau abortus).
Permasalahan kedua yang
mungkin muncul berkaitan dengan jenis kelamin janin yang berada di dalam
kandungan. Masalah muncul bila orang tua masih hidup dalam budaya tertentu,
misalnya patrilinial atau matrilinial. Beberapa suku di Indonesia ada yang
lebih mengutamakan kaum pria dan ada yang sebaliknya, lebih mengutamakan kaum
wanita. Mengetahui jenis kelamin janin bisa jadi membuat orang tua maupun pihak
keluarga lain yang masih sangat menjunjung tinggi adat berubah sikap, baik terhadap
ibu yang mengandung tersebut maupun terhadap bayi yang sedang dikandungnya.
Jika jenis kelamin bayi dalam kandungan sesuai dengan adat yang dipegang,
misalnya jenis kelamin bayi dalam kandungan laki-laki, dan keluarganya hidup
dalam budaya patrilinial, sang ibu maupun bayi dalam kandungannya dapat
memperoleh perlakuan-perlakuan istimewa. Sebaliknya bila jenis kelamin bayi
dalam kandungan tidak sesuai dengan adat yang dipegang, baik sang ibu maupun
bayi yang dikandungnya tidak mustahil akan memperoleh perlakuan yang mungkin
tidak mengenakkan. Bahkan, untuk orang tua yang masih sangat konservatif dengan
hukum adat, masalah tersebut dapat berakhir dengan pengguguran bayi dalam
kandungan.
Solusi
Beberapa contoh masalah
etika di atas mungkin diselesaikan dengan solusi-solusi tertentu. Masalah
pertama mungkin diselesaikan dengan mengubah pandangan orang tua bayi yang
masih berada di dalam kandungan dan divonis memiliki cacat untuk menerima
kekurangan bayinya tersebut apa adanya. Seperti yang banyak orang ketahui kehidupan
manusia sejak saat pembuahan adalah suci, maka tidak seorang pun apalagi ibunya
sendiri berhak meniadakannya. Dari pernyataan tersebut maka kepututusan untuk aborsi
sangat tidak sesuai dan tidak beretika. Selain itu, sebagai makhluk ciptaan Tuhan,
cacat atau kekurangan yang dimiliki dapat dianggap sebagai sesuatu yang “unik”
yang sengaja diberikan dan dapat memperkaya “keanekaragaman” yang ada. Bahkan
dalam etika biologi pun terdapat etika tentang penggunaan hewan uji coba
seperti yang tercantum dalam World Medical Association (1964). Selayaknya,
hewan saja mendapatkan perlakuan yang hampir setara dengan manusia. Oleh karena itu dokter dapat pula menawarkan
solusi terapi bagi bayi sesegera mungkin setelah bayi lahir atau bahkan selama
bayi masih di dalam kandungan karena tidak semua cacat yang ada bersifat
permanen dan tidak dapat diterapi.
Permasalahan kedua yang
berkaitan dengan jenis kelamin janin dalam kandungan yang dianggap berlawanan
dengan adat yang dipegang oleh orang tua, mungkin diselesaikan dengan
menanamkan prinsip persamaan gender kepada orang tua yang bersangkutan. Budaya
yang dipegang bukanlah hukum yang sifatnya permanen dan tidak dapat diganggu
gugat. Masih ada yang lebih penting dan esensial, yaitu persamaan martabat
semua orang, tidak terkecuali apapun jenis kelaminnya. Bayi yang masih di dalam
kandungan pun juga memiliki hak yang sama untuk menikmati kehidupan dan untuk
menikmati perlakuan yang sama, tanpa membedakan jenis kelamin. Pemahaman
tentang persamaan hak dan martabat ini justru memiliki cakupan jauh lebih luas
(universal) daripada “sekedar” hukum adat yang sifatnya territorial atau lokal
di wilayah tertentu saja.