Imunologi adalah cabang yang luas
dari ilmu biomedis yang mencakup studi tentang semua aspek dari sistem
kekebalan tubuh dalam semua organisme. Ini berkaitan dengan, antara lain,
fungsi fisiologis dari sistem kekebalan tubuh dalam keadaan kesehatan dan
penyakit, malfungsi sistem kekebalan tubuh pada gangguan imunologi (penyakit
autoimun, hypersensitivities, defisiensi imun, penolakan transplantasi), kimia,
fisik dan fisiologis karakteristik komponen dari sistem kekebalan tubuh secara
in vitro, in situ, dan in vivo. Imunologi memiliki aplikasi dalam beberapa
disiplin ilmu pengetahuan, dan dengan demikian dibagi lagi.
Bahkan sebelum konsep kekebalan
(dari''immunis'', bahasa Latin untuk "dibebaskan") dikembangkan,
banyak dokter awal dicirikan organ yang nantinya akan terbukti menjadi bagian
dari sistem kekebalan tubuh. Organ limfoid kunci utama dari sistem kekebalan
tubuh yang timus dan sumsum tulang, dan jaringan limfatik sekunder seperti
limpa, tonsil, pembuluh getah bening, kelenjar getah bening, kelenjar gondok,
dan kulit. Ketika kondisi kesehatan menjamin, organ-organ sistem kekebalan
tubuh termasuk timus, limpa, sumsum tulang porsi, kelenjar getah bening dan
jaringan getah bening sekunder dapat pembedahan dikeluarkan untuk pemeriksaan
sementara pasien masih hidup.
Banyak komponen dari sistem
kekebalan tubuh sebenarnya seluler di alam dan tidak berhubungan dengan organ
tertentu melainkan tertanam atau beredar di berbagai jaringan di seluruh tubuh.
SEJARAH IMUNOLOGI
Pada mulanya imunologi merupakan
cabang mikrobiologi yang mempelajari respons tubuh, terutama respons kekebalan,
terhadap penyakit infeksi. Pada tahun 1546, Girolamo Fracastoro mengajukan
teori kontagion yang menyatakan bahwa pada penyakit infeksi terdapat suatu zat
yang dapat memindahkan penyakit tersebut dari satu individu ke individu lain,
tetapi zat tersebut sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat dengan mata dan
pada waktu itu belum dapat diidentifikasi.
Edwar Jenner
Pada tahun 1798, Edward Jenner
mengamati bahwa seseorang dapat terhindar dari infeksi variola secara alamiah,
bila ia telah terpajan sebelumnya dengan cacar sapi (cow pox). Sejak saat itu,
mulai dipakailah vaksin cacar walaupun pada waktu itu belum diketahui bagaimana
mekanisme yang sebenarnya terjadi. Memang imunologi tidak akan maju bila tidak
diiringi dengan kemajuan dalam bidang teknologi, terutama teknologi kedokteran.
Dengan ditemukannya mikroskop maka kemajuan dalam bidang mikrobiologi meningkat
dan mulai dapat ditelusuri penyebab penyakit infeksi. Penelitian ilmiah
mengenai imunologi baru dimulai setelah Louis Pasteur pada tahun 1880 menemukan
penyebab penyakit infeksi dan dapat membiak mikroorganisme serta menetapkan
teori kuman (germ theory) penyakit. Penemuan ini kemudian dilanjutkan dengan
diperolehnya vaksin rabies pada manusia tahun 1885. Hasil karya Pasteur ini
kemudian merupakan dasar perkembangan vaksin selanjutnya yang merupakan
pencapaian gemilang di bidang imunologi yang memberi dampak positif pada
penurunan morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi pada anak.
Robert Koch
Pada tahun 1880, Robert Koch
menemukan kuman penyebab penyakit tuberkulosis. Dalam rangka mencari vaksin
terhadap tuberkulosis ini, ia mengamati adanya reaksi tuberkulin (1891) yang
merupakan reaksi hipersensitivitas lambat pada kulit terhadap kuman
tuberkulosis. Reaksi tuberkulin ini kemudian oleh Mantoux (1908) dipakai untuk
mendiagnosis penyakit tuberkulosis pada anak. Imunologi mulai dipakai untuk
menegakkan diagnosis penyakit pada anak. Vaksin terhadap tuberkulosis ditemukan
pada tahun 1921 oleh Calmette dan Guerin yang dikenal dengan vaksin BCG
(Bacillus Calmette-Guerin). Kemudian diketahui bahwa tidak hanya mikroorganisme
hidup yang dapat menimbulkan kekebalan, bahan yang tidak hidup pun dapat
menginduksi kekebalan.
Alexander Yersin Dan Roux
Setelah Roux dan Yersin menemukan
toksin difteri pada tahun 1885, Von Behring dan Kitasato menemukan antitoksin
difteri pada binatang (1890). Sejak itu dimulailah pengobatan dengan serum
kebal yang diperoleh dari kuda dan imunologi diterapkan dalam pengobatan
penyakit infeksi pada anak. Pengobatan dengan serum kebal ini di kemudian hari
berkembang menjadi pengobatan dengan imunoglobulin spesifik atau globulin gama
yang diperoleh dari manusia.
Clemens von pirquet
Dengan pemakaian serum kebal,
muncullah secara klinis kelainan akibat pemberian serum ini. Dua orang dokter
anak, Clemens von pirquet dari Austria dan Bela Shick dari Hongaria melaporkan
pada tahun 1905, bahwa anak yang mendapat suntikan serum kebal berasal dari
kuda terkadang menderita panas, pembesaran kelenjar, dan eritema yang dinamakan
penyakit serum (serum sickness). Selain itu peneliti Perancis, Charles Richet
dan Paul Portier (1901) menemukan bahwa reaksi kekebalan yang diharapkan timbul
dengan menyuntikkan zat toksin pada anjing tidak terjadi, bahkan yang terjadi
adalah keadaan sebaliknya yaitu kematian sehingga dinamakan dengan istilah
anafilaksis (tanpa pencegahan). Mulailah imunologi dilibatkan dalam reaksi lain
dari kekebalan akibat pemberian toksin atau antitoksin. Clemens von pirquet dari
Austria (1906) memakai istilah reaksi alergi untuk reaksi imunologi ini. Pada
tahun 1873 Charles Blackley mempelajari penyakit hay fever, yaitu penyakit
dengan gejala klinis konjungtivitis dan rinitis, serta melihat bahwa ada
hubungan antara penyakit ini dengan serbuk sari (pollen). Oleh Wolf Eisner
(1906) dan Meltzer (1910), penyakit ini dinamakan anafilaksis pada manusia
(human anaphylaxis).
Pada tahun 1911-1914, Noon dan
Freeman mencoba mengobati penyakit hay fever dengan cara terapi imun yaitu menyuntikkan
serbuk sari subkutan sedikit demi sedikit. Dasarnya pada waktu itu dianggap
bahwa serbuk sari mengeluarkan toksin, dengan harapan agar terbentuk antitoksin
netralisasi. Sejak itu cara tersebut masih dipakai untuk mengobati penyakit
alergi terhadap antigen tertentu yang dikenal dengan cara desensitisasi. Akan
tetapi mekanisme yang sekarang dianut adalah berdasarkan pembentukan antibodi
penghambat (blocking antibody).
Dengan penemuan reaksi
tuberkulin, Schloss (1912) dan von Pirquet (1915) melakukan uji gores (scratch
test) pada kulit untuk diagnosis penyakit alergi pada anak. Talbot (1914),
seorang dokter anak, dengan uji gores melihat adanya hu- bungan antara asma
anak dengan telur. Cooke (1915) memodifikasi uji gores dengan uji intrakutan,
dan melaporkan juga bahwa faktor keturunan memegang peranan pada penyakit
alergi. Pada tahun 1913, Shick juga memperkenalkan uji kulit untuk menentukan
kepekaan seseorang terhadap kuman difteri, sehingga makin banyak fenomena imun
diterapkan dalam uji diagnostik penyakit anak.
Pada tahun 1923, Cooke dan Coca
mengajukan konsep atopi (strange disease) terhadap sekumpulan penyakit alergi
yang secara klinis mempunyai manifestasi sebagai hay fever, asma, dermatitis,
dan mempunyai predisposisi diturunkan. Mulailah ilmu alergi-imunologi
diterapkan dalam kelainan dan penelitian di bidang alergi klinis. Rackemann
(1918) melihat bahwa sebagian besar asma pada anak mempunyai dasar alergi dan
dinamakan asma tipe ekstrinsik.Prausnitz dan Kustner (1921) menyatakan bahwa
zat yang menimbulkan sensitisasi kulit pada uji kulit dapat ditransfer melalui
serum penderita. Memang pada waktu itu mekanisme alergi yang tepat belum
diketahui. Kini berkat penelitian yang telah dilakukan, proses selular dan
molekular yang terjadi pada penyakit alergi dapat dijabarkan. Berbagai macam
bentuk kelainan klinis berdasarkan reaksi alergi-imunologi makin banyak
ditemukan, terutama dengan bertambah banyaknya obat yang dipakai untuk pengobatan
dan diagnosis penyakit.
Dengan ditemukannya komplemen
oleh Bordet (1894), uji diagnostik yang memakai fenomena imun berkembang lagi
dengan uji fiksasi komplemen (1901), seperti pada penyakit sifilis. Pada tahun
1896, Widal secara in vitro mendemonstrasikan bahwa serum penderita demam
tifoid dapat mengaglutinasi basil tifoid.
Setelah Landsteiner (1900)
menemukan golongan darah ABO, dan disusul dengan golongan darah rhesus oleh
Levine dan Stenson (1940) , maka kelainan klinis berdasarkan reaksi imun
semakin dikenal. Pada masa itu, fenomena imun yang terjadi baru dapat
dijabarkan dengan istilah imunologi saja. Baru pada tahun 1939, 141 tahun
setelah penemuan Jenner, Tiselius dan Kabat menemukan secara elektroforesis
bahwa antibodi terletak dalam spektrum globulin gama yang kemudian dinamakan
imunoglobulin (Ig). Dengan cara imunoelektroforesis diketahui bahwa
imunoglobulin terdiri atas 5 kelas yang diberi nama IgA, IgG, IgM, IgD dan IgE
(WHO, 1964), dan kemudian diketahui bahwa masing-masing kelas tersebut
mempunyai subkelas. Pada tahun 1959 Porter dan Edelman menemukan struktur
imunoglobulin, dan tahun 1969 Edelman pertama kali melaporkan urutan asam amino
molekul imunoglobulin yang lengkap. Reagin, yaitu faktor yang dianggap berperan
pada penyakit alergi, baru ditemukan strukturnya oleh Kimishige dan Teneko
Ishizaka pada tahun 1967 dan merupakan kelas imunoglobulin E (IgE). Sekarang
banyak penelitian dilakukan mengenai regulasi sintesis IgE, dengan harapan
dapat menerapkannya dalam mengendalikan penyakit atopi.
Metchnikoff
Pada tahun 1883, Metchnikoff
sebenarnya telah mengatakan bahwa pertahanan tubuh tidak saja diperankan oleh
faktor humoral, tetapi leukosit juga berperan dalam pertahanan tubuh terhadap
penyakit infeksi. Pada waktu itu peran leukosit baru dikenal fungsi
fagositosisnya. Beliaulah yang menemukan sel makrofag. Sekarang kita mengetahui
bahwa sel makrofag aktif berperan pada imunitas selular untuk eliminasi
antigen. Baru pada tahun 1964, Cooper dan Good dari penelitiannya pada ayam
menyatakan bahwa sistem limfosit terdiri atas 2 populasi, yaitu populasi yang
perkembangannya bergantung pada timus dan dinamakan limfosit T, serta populasi
yang perkembangannya bergantung pada bursa fabricius dan dinamakan limfosit B.
Tetapi pada waktu itu belum dapat dibedakan antara limfosit T dan limfosit B.
Limfosit T berperan dalam hipersensitivitas lambat pada kulit dan penolakan
jaringan, sedangkan limfosit B dalam produksi antibodi.
Dua Jenis Sistem Imun dalam Tubuh
- Sistem imun non spesifik ,natural atau sudah ada dalam tubuh (pembawaan)
Merupakan pertahanan tubuh
terdepan dalam melawan mikroorganisme. Disebut nonspesifik karena tidak
ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu. Terdiri dari:
o
Pertahanan fisik/mekanik. Kulit, selaput lendir
, silia saluran pernafasan, batuk, bersin akan mencegah masuknya berbagai kuman
patogen kedalam tubuh. Kulit yang rusak misalnya oleh luka bakar dan selaput
lendir yang rusak oleh asap rokok akan meninggikan resiko infeksi.
o
Pertahanan biokimia. Bahan yang disekresi mukosa
saluran nafas, kelenjar sebaseus kulit, kel kulit, telinga, spermin dalam
semen, mengandung bahan yang berperan dalam pertahanan tubuh secara
biokimiawi.asam HCL dalam cairan lambung , lisozim dalam keringat, ludah , air
mata dan air susu dapat melindungi tubuh terhadap berbagai kuman gram positif
dengan menghancurkan dinding selnya. Air susu ibu juga mengandung laktoferin
dan asam neuraminik yang mempunyai sifat antibacterial terhadap E. coli dan
staphylococcus. Lisozim yang dilepas oleh makrofag dapat menghancurkan kuman
gram negatif dan hal tersebut diperkuat oleh komplemen.Laktoferin dan
transferin dalam serum dapat mengikat zan besi yang dibutuhkan untuk kehidupan
kuman pseudomonas.
o
Pertahanan humoral. Berbagai bahan dalam
sirkulasi berperan pada pertahanan tubuh secara humoral. Bahan-bahan tersebut
adalah:
§
Komplemen. Komplemen mengaktifkan fagosit, membantu destruktif bakteri dan parasit karena:
· Komplemen dapat menghancurkan sel membran
bakteri
· Merupakan faktor kemotaktik yang mengarahkan
makrofag ke bakteri
· Komponen komplemen lain yang mengendap pada
permukaan bakteri memudahkan makrofag untuk mengenal dan memfagositosis
(opsonisasi).
§ Interferon. Interferon adalah suatu glikoprotein
yang dihasilkan oleh banyak sel manusia yang mengandung nukleus dan
dilepaskan sebagai respons terhadap infeksi virus.Interveron mempunyai sifat
anti virus dengan jalan menginduksi sel-sel sekitar sel yang terinfeksi virus
sehingga menjadi resisten terhadap virus. Disamping itu, interveron juga dapat
mengaktifkan Natural Killer cell (sel NK). Sel yang diinfeksi virus atau
menjadi ganas akan menunjukkan perubahan pada permukaannya. Perubahan tersebut
akan dikenal oleh sel NK yang kemudian membunuhnya. Dengan demikian penyebaran
virus dapat dicegah.
§
Reactive Protein (CRP). Peranan CRP adalah
sebagai opsonin dan dapat mengaktifkan komplemen. CRP dibentuk oleh badan pada
saat infeksi. CRP merupakan protein yang kadarnya cepat meningkat (100 x atau
lebih) setelah infeksi atau inflamasi akut. CRP berperanan pada imunitas non
spesifik, karena dengan bantuan Ca++ dapat mengikat berbagai molekul yang
terdapat pada banyak bakteri dan jamur.
o
Pertahanan seluler
Fagosit/makrofag dan sel NK
berperanan dalam sistem imun non spesifik seluller.
§ Fagosit.
Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis tetapi sel utama
yang berperaan dalam pertahanan non spesifik adalah sel mononuclear (monosit
dan makrofag) serta sel polimorfonuklear seperti neutrofil. Dalam kerjanya sel
fagosit juga berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun spesifik.
Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa tingakt sebagai berikut: Kemotaksis, menangkap, memakan (fagosistosis),
membunuh dan mencerna.Kemotaksis adalah gerakan fagosit ketempat infekis
sebagai respon terhadap berbagai factor sperti produk bakteri dan factor
biokimiawi yang dilepas pada aktivasi komplemen.Antibody seperti pada halnya
dengan komplemen C3b dapat meningkatkan fagosistosis (opsonisasi). Antigen yang
diikat antibody akan lebih mudah dikenal oleh fagosit untuk kemudian
dihancurkan. Hal tersebut dimungkinkan oleh adanya reseptor untuk fraksi Fc
dari immunoglobulin pada permukaan fagosit.
§ Natural Killer cell (sel NK). Sel NK adalah sel
limfoid yang ditemukan dalam sirkulasi dan tidak mempunyai cirri sel limfoid
dari siitem imun spesifik, maka karenan itu disebut sel non B non T (sel NBNT)
atau sel poplasi ketiga. Sel NK dapat menghancurkan sel yang mengandung virus atau
sel neoplasma dan interveron meempunyai pengaruh dalam mempercepat pematangan
dan efeksitolitik sel NK.
· Sistem imun spesifik atau adaptasi. Mempunyai
kemampuan untuk mengenal benda asing.Benda asing yang pertama kali muncul
dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitiasi sel-sel imun
tersebut. Bila sel imun tersebut berpapasan kembali dengan benda asing yang
sama, maka benda asing yang terakhir ini akan dikenal lebih cepat, kemudian
akan dihancurkan olehnya. Oleh karena sistem tersebut hanya mengahancurkan
benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem itu disebut spesifik. Sistem
imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan benda asing yang
berbahaya, tetapi umumnya terjalin kerjasama yang baik antara antibodi, komplemen,
fagosit dan antara sel T makrofag. Sistem imun spesifik ada 2 yaitu:
o Sistem imun spesifik humoral. Yang berperanan
dalam sistem imun humoral adalah limfosit B atau sel B. sel B tersebut berasal
dari sel asal multipoten. Bila sel B dirangsang oleh benda asing maka sel
tersebut akan berproliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat
menbentuk zat anti atau antibody. Antibody yang dilepas dapat ditemukan didalam
serum.Funsi utama antibody ini ialah untuk pertahanan tehadap infeksi virus, bakteri
(ekstraseluler), dan dapat menetralkan toksinnya.
o Sistem imun spesifik selular. Yang berperanan
dalam sistem imun spesifik seluler adalah limfosit T atau sel T. sel tersebut
juga berasal dari sel asal yang sama dari sel B. factor timus yang disebut
timosin dapat ditemukan dalam peredaran darah sebagai hormon asli dan dapat
memberikan pengaruhnya terhadap diferensiasi sel T diperifer. Berbeda dengan
sel B, sel T terdiri atas beberapa sel subset yang mempunyai fungsi berlainan.
Fungsi utama sel imun spesifik adalah untuk pertahanan terhadap bakteri yang
hidup intraseluler, virus, jamur, parasit, dan keganasan.
Sumber :