Permasalahan kloning adalah merupakan kejadian kontemporer
(kekinian). Dalam kajian literatur klasik belum pernah persoalan kloning
dibahas oleh para ulama. Oleh karenanya, rujukan yang penulis kemukakan
berkenaan dengan masalah kloning ini adalah menurut beberapa pandangan ulama
kontemporer.
Para ulama mengkaji kloning dalam pandangan hukum Islam
bermula dari ayat berikut:
… فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي اْلأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ … (الحج: 5).
“… Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes
mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna
kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami
tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki …” (QS. 22/al-Hajj: 5).
Abul Fadl Mohsin Ebrahim berpendapat dengan mengutip ayat di
atas, bahwa ayat tersebut menampakkan paradigma al-Qur’an tentang penciptan
manusia mencegah tindakan-tindakan yang mengarah pada kloning. Dari awal
kehidupan hingga saat kematian, semuanya adalah tindakan Tuhan. Segala bentuk
peniruan atas tindakan-Nya dianggap sebagai perbuatan yang melampaui batas.
Selanjutnya, ia mengutip ayat lain yang berkaitan dengan
munculnya prestasi ilmiah atas kloning manusia, apakah akan merusak keimanan
kepada Allah SWT sebagai Pencipta? Abul Fadl menyatakan “tidak”, berdasarkan
pada pernyataan al-Qur’an bahwa Allah SWT telah menciptakan Nabi Adam As. tanpa
ayah dan ibu, dan Nabi ‘Isa As. tanpa ayah, sebagai berikut:
إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللهِ كَمَثَلِ ءَادَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (ال عمران: 59).
“Sesungguhnya misal (penciptaan) `Isa di sisi Allah, adalah
seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah
berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia” (QS. 3/Ali
‘Imran: 59).
Pada surat yang sama juga dikemukakan:
إِذْ قَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ يَامَرْيَمُ إِنَّ اللهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٍ مِنْهُ اسْمُهُ الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ وَجِيهًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمِنَ الْمُقَرَّبِينَ. وَيُكَلِّمُ النَّاسَ فِي الْمَهْدِ وَكَهْلاً وَمِنَ الصَّالِحِينَ. قَالَتْ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ قَالَ كَذَلِكِ اللهُ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ إِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (ال عمران: 45- 47).
“(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: “Hai Maryam,
sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang
diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya al-Masih `Isa
putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk
orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia berbicara dengan manusia
dalam buaian dan ketika sudah dewasa dan dia termasuk di antara orang-orang
yang saleh. Maryam berkata: “Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak,
padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun”. Allah berfirman
(dengan perantaraan Jibril): “Demikianlah Allah menciptakan apa yang
dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya
cukup berkata kepadanya: “Jadilah”, lalu jadilah dia” (QS. 3/Ali ‘Imran:
45-47).
Hal yang sangat jelas dalam kutipan ayat-ayat di atas adalah
bahwa segala sesuatu terjadi menurut kehendak Allah. Namun, kendati Allah
menciptakan sistem sebab-akibat di alam semesta ini, kita tidak boleh lupa
bahwa Dia juga telah menetapkan pengecualian-pengecualian bagi sistem umum
tersebut, seperti pada kasus penciptaan Adam As. dan ‘Isa As. Jika kloning
manusia benar-benar menjadi kenyataan, maka itu adalah atas kehendak Allah SWT.
Semua itu, jika manipulasi bioteknologi ini berhasil dilakukan, maka hal itu
sama sekali tidak mengurangi keimanan kita kepada Allah SWT sebagai Pencipta,
karena bahan-bahan utama yang digunakan, yakni sel somatis dan sel telur yang belum
dibuahi adalah benda ciptaan Allah SWT.
Islam mengakui hubungan suami isteri melalui perkawinan
sebagai landasan bagi pembentukan masyarakat yang diatur berdasarkan tuntunan
Tuhan. Anak-anak yang lahir dalam ikatan perkawinan membawa komponen-komponen
genetis dari kedua orang tuanya, dan kombinasi genetis inilah yang memberi
mereka identitas. Karena itu, kegelisahan umat Islam dalam hal ini adalah bahwa
replikasi genetis semacam ini akan berakibat negatif pada hubungan suami-isteri
dan hubungan anak-orang tua, dan akan berujung pada kehancuran institusi
keluarga Islam. Lebih jauh, kloning manusia akan merenggut anak-anak dari akar
(nenek moyang) mereka serta merusak aturan hukum Islam tentang waris yang
didasarkan pada pertalian darah.
Berikutnya, KH. Ali Yafie dan Dr. Armahaedi Mahzar (Indonesia),
Abdul Aziz Sachedina dan Imam Mohamad Mardani (AS) juga mengharamkan, dengan
alasan mengandung ancaman bagi kemanusiaan, meruntuhkan institusi perkawinan
atau mengakibatkan hancurnya lembaga keluarga, merosotnya nilai manusia,
menantang Tuhan, dengan bermain tuhan-tuhanan, kehancuran moral, budaya dan
hukum.
M. Kuswandi, staf pengajar Fakultas Farmasi UGM Yogyakarta
juga berpendapat teknik kloning diharamkan, dengan argumentasi: menghancurkan
institusi pernikahan yang mulia (misal: tumbuh suburnya lesbian, tidak perlu
laki-laki untuk memproduksi anak), juga akan menghancurkan manusia sendiri
(dari sudut evolusi, makhluk yang sesuai dengan environment-nya yang dapat
hidup).
Dari sudut agama dapat dikaitkan dengan masalah nasab yang
menyangkut masalah hak waris dan pernikahan (muhrim atau bukan), bila diingat
anak hasil kloning hanya mempunyai DNA dari donor nukleus saja, sehingga
walaupun nukleus berasal dari suami (ayah si anak), maka DNA yang ada dalam
tubuh anak tidak membawa DNA ibunya. Dia seperti bukan anak ibunya (tak ada
hubungan darah, hanya sebagai anak susuan) dan persis bapaknya (haram menikah
dengan saudara sepupunya, terlebih saudara sepupunya hasil kloning juga).
Selain itu, menyangkut masalah kejiwaan, bila melihat bahwa beberapa kelakuan abnormal
seperti kriminalitas, alkoholik dan homoseks disebabkan kelainan kromosan.
Demikian pula masalah kejiwaan bagi anak-anak yang diasuh oleh single parent,
barangkali akan lebih kompleks masalahnya bagi donor nukleus bukan dari suami
dan yang mengandung bukan ibunya.
Sedangkan ulama yang membolehkan melakukan kloning
mengemukakan alasan sebagai berikut:
- Dalam Islam, kita selalu diajarkan untuk menggunakan akal dalam memahami agama.
- Islam menganjurkan agar kita menuntut ilmu (dalam hadits dinyatakan bahkan sampai ke negri Cina sekalipun).
- Islam menyampaikan bahwa Allah selalu mengajari dengan ilmu yang belum ia ketahui (lihat QS. 96/al-’Alaq).
- Allah menyatakan, bahwa manusia tidak akan menguasai ilmu tanpa seizin Allah (lihat ayat Kursi pada QS. 2/al-Baqarah: 255).
Dengan landasan yang demikian itu, seharusnya kita menyadari
bahwa penemuan teknologi bayi tabung, rekayasa genetika, dan kemudian kloning
adalah juga bagian dari takdir (kehendak) Ilahi, dan dikuasai manusia dengan
seizin-Nya. Penolakan terhadap kemajuan teknologi itu justru bertentangan
dengan prinsip-prinsip yang diajarkan dalam Islam.
Ada juga di kalangan umat Islam yang tidak terburu-buru
mengharamkan ataupun membolehkan, namun dilihat dahulu sisi-sisi kemanfaatan
dan kemudharatan di dalamnya. Argumentasi yang dikemukakan sebagai berikut:
Perbedaan pendapat di kalangan ulama dan para ilmuan
sebenarnya masih bersifat tentative, bahwa argumen para ulama/ilmuan yang
menolak aplikasi kloning pada manusia hanya melihatnya dari satu sisi, yakni
sisi implikasi praktis atau sisi applied science dari teknik kloning. Wilayah
applied science yang mempunyai implikasi sosial praktis sudah barang tentu
mempunyai logika tersendiri. Mereka kurang menyentuh sisi pure science
(ilmu-ilmu dasar) dari teknik kloning, yang bisa berjalan terus di laboratorium
baik ada larangan maupun tidak. Wilayah pure science juga punya dasar pemikiran
dan logika tersendiri pula.
Dalam mencari batas “keseimbangan” antara kemajuan IPTEK dan
Doktrin Agama, pertanyaan yang dapat diajukan adalah sejuh mana para ilmuan,
budayawan dan agamawan dapat berlaku adil dalam melihat kedua fenomena yang
berbeda misi dan orientasi tersebut? Menekankan satu sisi dengan melupakan atau
menganggap tidak adanya sisi yang lain, cepat atau lambat, akan membuat orang
“tertipu” dan “kecewa”. Dari situ barangkali perlu dipikirkan format kajian dan
telaah yang lebih seimbang, arif, hati-hati untuk menyikapi dan memahami kedua
sisi tersebut sekaligus. Sudah tidak zamannya sekarang, jika seseorang ingin menelaah
persoalan kloning secara utuh, tetapi tidak memperhatikan kedua sisi tersebut
secara sekaligus.
Selanjutnya, ada pula agamawan sekaligus ilmuan menyatakan
bahwa tujuan agama menurut penuturan Imam al-Syatibi yang bersifat dharuri ada
lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Oleh karena
itulah maka kloning itu kita uji dari sesuai atau tidaknya dengan tujuan agama.
Bila sesuai, maka tidak ada keberatannya kloning itu kita restui, tetapi bila
bertentangan dengan tujuan-tujuan syara’ tentulah kita cegah agar tidak
menimbulkan bencana. Kesimpulan yang diberikan klonasi ovum manusia itu tidak
sejalan dengan tujuan agama, memelihara jiwa, akal, keturunan maupun harta, dan
di beberapa aspek terlihat pertentangannya.
Sumber :