Untuk menentukan apakah syari’at membenarkan pengambilan
manfaat terapeutik dari kloning manusia, kita harus mengevaluasi manfaat vis a
vis mudharat dari praktek ini. Dengan berpijak pada kerangka pemikiran ini,
maka manfaat dan mudharat terapeutik dari kloning manusia dapat diuraikan
sebagai berikut:
- Mengobati penyakit. Teknologi kloning kelak dapat
membantu manusia dalam menentukan obat kanker, menghentikan serangan jantung,
dan membuat tulang, lemak, jaringan penyambung atau tulang rawan yang cocok
dengan tubuh pasien untuk tujuan bedah penyembuhan dan bedah kecantikan.
Sekedar melakukan riset kloning manusia dalam rangka menemukan obat atau
menyingkap misteri-misteri penyakit yang hingga kini dianggap tidak dapat
disembuhkan adalah boleh, bahkan dapat dijustifikasikan pelaksanaan riset-riset
seperti ini karena ada sebuah hadits yang menyebutkan: “Untuk setiap penyakit
ada obatnya”. Namun, perlu ditegaskan bahwa pengujian tentang ada tidaknya
penyakit keturunan pada janin-janin hasil kloning guna menghancurkan janin yang
terdeteksi mengandung penyakit tesebut dapat melanggar hak hidup manusia.
- Infertilitas. Kloning manusia memang dapat
memecahkan problem ketidaksuburan, tetapi tidak boleh mengabaikan fakta bahwa
Ian Wilmut, A.E. Schieneke, J. Mc. Whir, A.J. Kind, dan K.H.S. Campbell harus
melakukan 277 kali percobaan sebelum akhirnya berhasil mengkloning “Dolly”.
Kloning manusia tentu akan melewati prosedur yang jauh lebih rumit. Pada
eksperimen awal untuk menghasilkan sebuah klon yang mampu bertahan hidup akan
terjadi banyak sekali keguguran dan kematian. Lebih jauh, dari sekian banyak
embrio yang dihasilkan hanya satu embrio, yang akhirnya ditanam ke rahim wanita
pengandung sehingga embrio-embrio lainnya akan dibuang atau dihancurkan. Hal
ini tentu akan menimbulkan problem serius, karena nenurut syari’at pengancuran
embrio adalah sebuah kejahatan. Selain itu, teknologi kloning melanggar
sunnatullah dalam proses normal penciptaan manusia, yaitu bereproduksi tanpa
pasangan seks, dan hal ini akan meruntuhkan institusi perkawinan. Produksi
manusia-manusia kloning juga sebagaimana dikemukakan di atas, akan berdampak
negatif pada hukum waris Islam (al-mirâts).
- Organ-organ untuk transplantasi. Ada kemungkinan bahwa kelak manusia
dapat mengganti jaringan tubuhnya yang terkena penyakit dengan jaringan tubuh
embrio hasil kloning, atau mengganti organ tubuhnya yang rusak dengan organ
tubuh manusia hasil kloning. Manipulasi teknologi untuk mengambil manfaat dari
manusia hasil kloning ini dipandang sebagai kejahatan oleh hukum Islam, karena
hal itu merupakan pelanggaran terhadap hidup manusia Namun, jika penumbuhan
kembali organ tubuh manusia benar-benar dapat dilakukan, maka syari’at tidak
dapat menolak pelaksanaan prosedur ini dalam rangka menumbuhkan kembali organ
yang hilang dari tubuh seseorang, misalnya pada korban kecelakaan kerja di pertambangan
atau kecelakaan-kecelakaan lainnya. Tetapi, akan muncul pertanyaan mengenai
kebolehan menumbuhkan kembali organ tubuh seseorang yang dipotong akibat
kejahatan yang pernah dilakukan.
- Menghambat Proses Penuaan. Ada sebuah optimisme bahwa kelak
kita dapat meng- hambat proses penuaan berkat apa yang kita pelajari dari
kloning. Namun hal ini bertentangan dengan hadits yang menceritakan peristiwa
berikut:
Orang-orang Baduy datang kepada Nabi
SAW, dan berkata: “Hai Rasulallah, haruskah kita mengobati diri kita sendiri?
Nabi SAW menjawab: “Ya, wahai hamba-hamba Allah, kalian harus mengobati (diri
kalian sendiri) karena sesungguhnya Allah tidak menciptakan suatu penyakit
tanpa menyediakan obatnya, kecuali satu macam penyakit”. Mereka bertanya: “Apa
itu?” Nabi SAW menjawab: “Penuaan”.
- Jual beli embrio dan sel. Sebuah riset bisa saja mucul untuk
memperjual-belikan embrio dan sel-sel tubuh hasil kloning. Transaksi-transaksi
semacam ini dianggap bâthil (tidak sah) berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
sebagai berikut:
- Seseorang tidak boleh memperdagangkan sesuatu yang bukan miliknya.
- Sebuah hadits menyatakan: “Di antara orang-orang yang akan dimintai pertanggungjawaban pada Hari Akhir adalah orang yang menjual manusia merdeka dan memakan hasilnya”.
Dengan demikian, potensi keburukan yang terkandung dalam
teknologi kloning manusia jauh lebih besar daripada kebaikan yang bisa
diperoleh darinya, dan karenanya umat Islam tidak dibenarkan mengambil manfaat
terapeutik dari kloning manusia.
Sumber :