Cacing tanah adalah
nama yang umum digunakan untuk kelompok Oligochaeta, yang kelas dan subkelasnya
tergantung dari penemunya dalam filum Annelida.
Kingdom
|
: Animalia
|
Phylum
|
: Annelida
|
Class
|
: Clitellata
|
Order
|
: Haplotaxida
|
Family
|
: Lumbricidae
|
Genus
|
: Lumbricus
|
Species
|
: Lumbricus rubellus
|
Jenis Cacing Tanah
Ada sekitar 4500
spesies cacing di dunia, sekitar 2700 di antaranya adalah spesies cacing tanah.
Ada dua tipe spesies cacing tanah berdasarkan perilaku hidupnya, yaitu
earthmovers dan composters (pembuat kompos).
Earthmovers adalah
spesies soliter (penyendiri) yang hidup di dalam tanah dengan membuat terowongan
berongga di dalam tanah (rongga-rongga ini akan terisi udara dan oksigen yang
baik untuk akar tanaman). Mereka hidup dari memakan bakteri, fungi, dan algae
pada tanah dan memberikan nutrisi melalui kotoran mereka ke tanah pada level
akar yang sangat dibutuhkan oleh tanaman.
Sedangkan Composters
adalah spesies yang hidup secara massal dalam tumpukan organik di permukaan
tanah. Mereka mengkonsumsi bakteri, fungi, dan algae yang ada pada dedaunan
mati dan bahan organik lainnya dan mengubahnya menjadi humus.
Spesies cacing tanah
yang biasa dikomersilkan antara lain Eisenia
foetida, Lumbricus rubellus, Lumbricus hortensis, Lumbricus terristris, Eudrilus engeniae, Eisenia andrei, dan Perionyx
excavatus. Cacing harimau (Eisenia
foetida) dan cacing merah (Rubellus
lumbricus) merupakan cacing tanah jenis Composters.
Anatomi
Cacing Tanah
Tubuh cacing tanah
sebagian besar terdiri dari air dan tersusun atas segmen-segmen (sekitar 95
segmen) yang dapat menyusut dan meregang untuk membantu cacing bergerak di
dalam tanah. Cacing tanah tidak memiliki tulang, gigi, mata, telinga atau kaki.
Cacing tanah memiliki lima jantung.
Cacing tanah memiliki
organ perasa yang sensitif terhadap cahaya dan sentuhan (reseptor sel) untuk
membedakan perbedaan intensitas cahaya dan merasakan getaran di dalam tanah.
Selain itu, mereka juga memiliki kemoreseptor khusus yang bereaksi terhadap
rangsangan kimia. Organ-organ perasa pada cacing tanah terletak di bagian
anterior (depan/muka). Tetapi, kepala cacing tanah
terletak pada bagian yang paling dekat dengan clitellum. Mereka biasanya
bergerak searah bagian kepala menghadap saat berpindah tempat.
Clitellum adalah segmen
pada cacing tanah (mirip korset) tempat kelenjar sel. Fungsinya untuk membentuk
kokon (kepompong) dari sekresi lendir dimana sel-sel telur akan diletakkan
nantinya di dalam kokon ini. Selama periode kekeringan, beberapa spesies cacing
tanah akan kehilangan ciri-ciri seksual sekunder untuk sementara, seperti
hilangnya clitellum. Saat keadaan membaik, clitellum akan terbentuk kembali.
Clitellum juga bisa menghilang pada usia tua.
Cacing tanah bernapas
dengan kulit mereka yang tipis. Kulit cacing harus tetap lembab sepanjang waktu
untuk memungkinkan untuk menghirup oksigen yang sangat dibutuhkan. Oksigen yang
masuk lewat kulit akan diikat oleh hemoglobin dalam darah dan akan diedarkan ke
seluruh tubuh. Jika kulit mereka mengering, cacing tanah akan mati lemas. Kulit
cacing tanah sangat sensitif terhadap cahaya matahari langsung ataupun suhu
panas yang dapat membuat kulit mereka kering.
Cacing tanah adalah
hewan berdarah dingin (poikiloterm), mereka tidak mampu menghasilkan panas
tubuh. Suhu tubuh mereka dipengaruhi oleh suhu lingkungan.
Siklus
Hidup Cacing Tanah
Sepasang cacing tanah
dewasa dapat berkembang biak hingga menghasilkan 1500 ekor cacing dalam satu
tahun. Populasi cacing tanah mengalami peningkatan hingga 100% setiap 4-6
bulan. Cacing tanah akan membatasi perkembangbiakan mereka agar sesuai dengan
makanan yang tersedia dan ukuran tempat hidup mereka.
Cacing tanah adalah
hewan hermafrodit (organ kelamin jantan & betina di dalam satu individu).
Meskipun hermafrodit, cacing tanah tidak bisa melakukan reproduksi sendirian
karena tidak bisa menyatukan organ kelamin jantan dan organ kelamin betina
mereka sendiri. Cacing tanah akan aktif untuk bereproduksi pada keadaan hangat
dan lembab.
Cacing tanah dewasa
dapat kawin kira-kira sekali setiap 10 hari, dan dari perkawinan itu, dapat
menghasilkan satu atau dua kepompong. Satu kepompong dapat menampung hingga 10
telur, namun biasanya hanya 4 cacing muda yang akan menetas.
Telur cacing tanah
dapat menetas setelah 3 minggu jika cuaca hangat, namun bisa mencapai 3 bulan
jika cuaca dingin. Saat anak cacing tanah siap keluar, kepompong berubah warna
menjadi kemerahan dan berukuran sebesar biji anggur. Anak cacing tanah yang
baru menetas berukuran sekitar 1.2 cm, tanpa organ reproduksi, berwarna
keputihan dengan semburat merah muda yang menunjukkan pembuluh darah mereka.
Cacing tanah akan mulai
matang secara seksual saat clitellum terbentuk dengan sempurna (usia 10-55
minggu, tergantung spesies). Pertumbuhan berat tubuh cacing tanah akan melambat
setelah melewati tahap ini. Kemudian sebagian cacing tanah
akan mati pada tahun yang sama saat mereka dilahirkan. Sementara yang lain
dapat hidup hingga usia 5 tahun atau lebih. Cacing tua ditandai dengan bagian
ekor agak pipih dan warna kuning pada ekor sudah mencapai punggung. Bila cacing
tanah masih produktif, warna kuning masih ada di ujung ekor.
Aktivitas
Antimikroba
Cacing tanah merupakan
makhluk yang telah hidup dengan bantuan sistem pertahanan mereka sejak fase
awal evolusi, oleh sebab itu mereka selalu dapat menghadapi invasi
mikroorganisme patogen di lingkungan mereka. Penelitian yang telah berlangsung
selama sekitar 50 tahun menunjukkan bahwa cacing tanah memiliki kekebalan
humoral dan selular mekanisme. Selain itu telah ditemukan bahwa cairan selom
cacing tanah mengandung lebih dari 40 protein dan pameran beberapa aktivitas
biologis sebagai berikut: cytolytic, proteolitik, antimikroba, hemolitik,
hemagglutinating, tumorolytic, dan kegiatan mitogenic.
Cairan dari selom
foetida Eisenia Andrei telah diteliti memiliki sebuah aktivitas antimikroba
terhadap Aeromonas hydrophila dan Bacillus megaterium yang dikenal sebagai
patogen cacing tanah. Setelah itu diperoleh dua protein, bernama Fetidins, dari
cairan selom cacing tanah dan menegaskan bahwa aktivitas antibakteri ini
disebabkan karena fetidins. Lumbricus rubellus juga memiliki dua agen
antibakteri bernama Lumbricin 1 dan Lumbricin 2. Baru-baru ini, dua jenis
faktor antibakteri yang mempunyai aktivitas seperti lisozim dengan aktivitas
hemolitik serta pengenalan pola protein bernama selom cytolytic faktor (CCF)
telah diidentifikasi dalam foetida Eisenia cacing tanah. Lysenin protein yang
berbeda dan Eisenia foetida lysenin-seperti protein memiliki beberapa kegiatan
yang diberikan cytolytic hemolitik, antibakteri dan membran-permeabilizing
properti.
Protein yang dimiliki
oleh cacing tanah memiliki mekanisme antimikroba yang berbeda dengan mekanisme
antibiotik. Antibiotik membunuh mikrorganisme tanpa merusak jaringan tubuh.
Antibiotik membunuh mikroganisme biasanya dengan dua cara, yaitu dengan menghentikan
jalur metabolik yang dapat menghasilkan nutrient yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme atau menghambat enzim spesifik yang dibutuhkan untuk mmbantu
menyusun dinding sel bakteri. Sedangkan, mekanisme yang dilakukan oleh protein
yang dimiliki oleh cacing tanah adalah dengan membuat pori di dinding sel
bakteri. Hal ini menyebakan sitoplasma sel bakteri menjadi terpapar dengan
lingkungan luar yang dapat mengganggu aktivitas dalam sel bakteri dan
menyebabkan kematian. Dengan cara ini, bakteri menjadi lebih susah untuk
menjadi resisten karena yang dirusak adalah struktur sel milik bakteri itu
sendiri.
Sumber :